MALANG, denai.id
- Ada yang kakinya masih bengkak karena kesalahan penanganan di rumah sakit. Ada
yang harus menjadi ibu pengganti untuk dua keponakan yang kecil-kecil. Ada pula
yang shock karena nyaris kehilangan pekerjaan.
Ruang tamu
itu disulap menjadi kamar. Ada dipan dengan kasur berwarna merah di belakang
kursi. Di situlah Ade Sulistyohadi tiduran dalam 100 hari terakhir.
Setiap ada
tamu, Ade cuma bisa berbaring. Kaki kanannya masih bengkak. Setelah insiden di gate
7 Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, seusai laga Arema FC versus Persebaya
Surabaya pada 1 Oktober malam tahun lalu, remaja 16 tahun itu menjalani operasi
di salah satu rumah sakit swasta. Tulang tibia dan fibulanya patah.
Tapi, setelah operasi, kondisinya justru memburuk. Kakinya sering merasa nyeri. Pihak keluarga curiga. Lalu pada 21 November 2022 Ade dibawa ke RSUD Kanjuruhan. Setelah dirontgen, hasilnya mengejutkan.
”Ternyata yang dipasang pen saat operasi hanya tulang tibia. Yang tulang fibula nggak ditangani," kata Karina Ike Sulistyo, ibunda Ade, seperti dikutip dari Jawa Pos, Sabtu (7/1) lalu.
Ada 600 lebih korban luka akibat tragedi Kanjuruhan terjadi. Dan, setelah 100 hari lewat, tak sedikit dari mereka yang senasib dengan Ade dalam beragam rupa: harus menanggung dampak panjang buntut insiden yang merenggut 135 nyawa itu.
”Mau protes, tapi ke mana? Saya bingung," kata Karina yang sehari-hari menjadi pelayan di salah satu warung makan tentang nasib anaknya itu.
Yang makin bikin dia sungkan, dia dan ketiga anaknya tinggal di rumah kakaknya, Li’an. Kakak kandungnya itulah yang selama ini merawat Ade. ”Anak saya pernah patah tulang tangan, pen yang dipasang ada dua. Ini Ade patah tulang kering dan betis, kok yang dipasang pen cuma tulang keringnya saja," sahut Li’an.
Novi Setianingsih kini juga menjadi ibu bagi dua keponakan: Clareta, 7, dan Talita, 4. Mereka putri saudara kembarnya, Nova Setia Rahayu, yang juga terenggut nyawanya pada malam kelam di Kanjuruhan itu. ”Sudah 100 hari, tapi saya setiap hari masih nangis. Wong 24 tahun selalu bareng," ungkap ibunda Irsyad, bayi yang baru berusia 1,5 tahun, tersebut.
Novi menangis tiap kali memandang Clareta dan Talita. Dia juga menangis tiap kali lewat warung bakso tempat mereka berdua biasa andok. Novi juga tak kuasa menahan air mata tiap kali mengingat bahwa sekitar sebulan setelah kejadian itu, seharusnya Nova yang berstatus janda tersebut menikah.
Bahkan, Nova ke Kanjuruhan bersama sang calon suami. Tapi, nasib berkata lain. Sang calon suami selamat, tapi Nova tidak.
Dengan wajah yang identik dengan Nova, jadilah kini Novi ibu pengganti buat Clareta dan Talita. Apalagi, sikap dan kepribadian sehari-hari Novi juga plek dengan saudara kembarnya tersebut.
”Anak-anak kalau inget ibunya pasti langsung ngamplok (memeluk) ke saya. Alhamdulillah, setidaknya anak-anak tidak terlalu sedih karena masih ada saya," beber wanita kelahiran 21 November 1998 itu di kediamannya di kawasan Tirtoyudan, Kabupaten Malang.
Novi menyayangi kedua keponakannya sebagaimana dirinya menyayangi Irsyad. Saat Clareta dan Talita tiba-tiba murung, dia pun melakukan seperti yang dulu biasa dilakukan Nova. ”Paling saya ajak keluar, beli makanan," tambahnya.
Yang dia masih belum sepenuhnya bisa menerima adalah kepergian Nova. Dia saudara kandungnya satu-satunya. Terlalu banyak kenangan yang mereka lewati berdua. Sesekali sang ibu sering mengeluh. ”Minta saya ikut demo. Ibu ingin ada keadilan di tragedi Kanjuruhan," kata Novi.
Di dipan tempat dia berbaring, yang paling membuat Ade gelisah adalah sekolah. ”Saya ini sudah 100 hari nggak masuk," kata siswa kelas XI SMK Cendekia Bangsa Kepanjen itu.
Sebelum tragedi, Ade sempat magang di Telkom Kepanjen selama dua bulan. ”Saya sudah kangen sekolah. Tapi, kalau masuk juga susah karena kelas saya ada di lantai 4," ungkap siswa jurusan teknik komputer dan jaringan (TKJ) tersebut.
Ade sebenarnya sudah bisa jalan. Tapi tidak jauh. Paling banter ke kamar mandi. Itu pun pakai kruk. Karena itu, Karina khawatir dengan nasib anaknya. ”Saya takut anak saya nggak naik kelas," bebernya.
Dian Puspita, korban Kanjuruhan lainnya, juga sempat koma selama tiga hari, lalu dilanjut dirawat di intensive care unit selama 20 hari. Setelah sadar, perempuan 22 tahun tersebut langsung dioperasi di RSUD Saiful Anwar (RSSA) Malang. Tulang tibia kaki kanannya patah.
”Sebelum operasi, dokter bilang kalau pen yang dipasang ini terbaik. Nomor satu, kualitas paling bagus," kata sang ibu, Karyati Ngesti Rahayu, saat ditemui Jawa Pos di kediamannya di kawasan Plaosan, Kabupaten Malang.
Tapi, satu bulan pascaoperasi, tidak ada perubahan. Dian dengan ditemani sang ibu kemudian kontrol ke RSSA. Dilakukan rontgen. ”Ternyata tulang anak saya nggak tersambung. Malah seperti agak renggang," ungkap Karyati.
Saat kontrol kedua pada Desember 2022, ketika dirontgen, tulang yang patah malah ternyata makin renggang selebar 6 sentimeter. Dalam kondisi bingung, pihak kepolisian mendatangi Dian. Mereka menawarkan bantuan. ”Diminta bawa ke Hasta Brata (rumah sakit milik Polri) di Kota Batu," katanya.
Karyati langsung membawa Dian ke rumah sakit tersebut. ”Alhamdulillah, langsung dilakukan operasi," tambahnya.
Kini kondisi Dian kian membaik. Tulang tibianya sudah tersambung. Tapi, persoalan lain datang: Dian sudah tidak masuk kerja selama 100 hari di salah satu pabrik rokok elektrik di Malang. ”Pihak kantor Dian datang ke rumah. Mereka bilang untuk sementara Dian harus di-cut (pecat)," kata Karyati.
Dian sempat shock. Untung, kantor tempatnya bekerja buru-buru memberi klarifikasi. ”Katanya, kalau sudah sembuh, saya sudah boleh kerja lagi," ujar Dian.
Karyati
hanya bisa berharap janji untuk anaknya itu kelak benar-benar dipenuhi.
**
Ethek-ethek-ethek. Bunyi lato-lato terdengar nyaring ketika Jawa Pos berkunjung ke tempat tinggal Muhammad Alfian, bocah yang kehilangan kedua orang tuanya dalam tragedi Kanjuruhan, di kawasan Bareng Raya, Kota Malang.
Alfi, sapaan akrab buyung 12 tahun itu, putra pasangan M. Yulianton dan Devi Ratna Sari. Dia selamat dari horor di Kanjuruhan tersebut, tapi ayah-ibunya meninggal.
Jumat (6/1) siang lalu itu wajahnya sudah tidak semuram seperti saat Jawa Pos tiba sehari setelah tragedi. Lato-lato membuat senyumnya terus merekah. Dia juga sudah tidak sungkan berinteraksi dengan teman-temannya. ”Alhamdulillah, Alfi sekarang sudah makin baik. Sudah agak ceria," kata sang nenek, Syafeiah, yang kini turut mengasuhnya.
Alfi sudah sering main di luar, ditemani sepupu yang juga teman sekelasnya, Azfar Muhammad Dafa. ”Kalau tidur juga berdua dengan Dafa. Alfi sendiri yang minta," tambahnya.
Syafeiah merawat Alfi bareng dengan anak dan menantunya. Rumah mereka bersebelahan. Di sekolah pun siswa kelas V-C SDB Bareng 2 itu juga sudah mulai ceria. ”Secara umum Alfi sudah membaik. Kelihatan saat bermain dengan teman-temannya," kata Kepala SDN 2 Bareng Kokok Hadi Slamet.
Setelah tragedi yang merenggut nyawa kedua orang tuanya, banyak pejabat yang datang. Mereka menjanjikan pendidikan gratis untuk Alfi sampai kuliah kelak. Untuk saat ini, bantuan itu benar-benar diberikan. Alfi tidak akan dibebani biaya apa pun di SDN Bareng 2 sampai lulus nanti.
”Bahkan, banyak pihak yang datang ke sekolah memberikan bantuan kepada Alfi. Selalu kami arahkan untuk langsung diberikan kepada pihak keluarga," kata Kokok.
Hari-hari ke depan, Ade, Novi, Afi, dan ratusan korban lain, termasuk orang-orang dekat mereka, masih akan dibayangi trauma horor dari Kanjuruhan itu. Apalagi jika penanganan tragedi ini jauh dari rasa keadilan.
”Saya dan para korban lain sudah kehilangan begitu besar, tapi sekarang kasusnya seperti tenggelam. Padahal, belum semuanya jelas. Ini bagaimana? Saya harap segera usut tuntas tragedi ini," ucap Novi. (nad)
Tulis Komentar