Catatan Rizal Effendi
SEUSAI salat Jumat (19/1) kemarin, saya mengikuti Debat Caleg yang digelar oleh Universitas Mulia (UM) Balikpapan. Selain saya, ada ibu Dr Hetifah Sjaifudian, caleg DPR RI dari Partai Golkar dan Ustaz Naspi Arsyad, Lc caleg DPD RI dari Pesantren Hidayatullah. Tadinya akan ditampilkan Andhika Hasan, caleg DPR RI dari PDIP dan Dr Rendi Ismail, caleg DPD RI dari Uniba. Sayang keduanya mendadak berhalangan.
Saya sendiri caleg DPR RI dari Partai Nasdem dapil Kaltim. Nomor urut 7. Ada yang tanya kenapa nomornya jauh? Saya bilang itu nomor Istimewa. Tuhan menciptakan langit lapis 7. Bintang sepakbola alumnus MU, Christian Ronaldo juga punya nomor punggung 7.
Debatnya berlangsung di kampus UM yang megah di Jl Letjen TNI ZA Maulani No 9. Ruang yang dipakai sangat menarik. Namanya Hall Cheng Ho. Sesuai namanya, maka arsitektur gedung itu memang dibuat sangat estetik dengan warna mencolok. Seperti istana kekaisaran Tiongkok. “Ya ini memang konsepnya terinspirasi dari sana,” kata Direktur Eksekutif UM, Dr Agung Sakti Pribadi, SH, MH.
Saya, Hetifah, dan Naspi tampil di panggung debat.
Di Balikpapan ada dua bangunan bernama Cheng Ho. Selain kampus UM, juga ada Masjid Cheng Ho di Pantai Lamaru, Manggar. Masjid itu dibangun pengusaha Kaltim kelahiran desa Senyiur, Kutai, HM Jos Soetomo untuk mengenang perjuangan dan dakwah Laksamana Cheng Ho sampai ke Nusantara antara tahun 1405 hingga 1433.
Menurut cerita, Cheng Ho termasuk keturunan Nabi Muhammad ke-37. Ayahnya bernama Ma Haji, karena telah menunaikan rukun Islam kelima ke Tanah Suci Makkah. Karena sangat berjasa, kaisar Tiongkok menunjuk Cheng Ho sebagai laksamana untuk melakukan pelayaran sampai ke Samudra Barat untuk menjalin persahabatan.
Masuk ke gedung Cheng Ho saya kedinginan. AC-nya sangat kencang. Maklum gedung baru. Ada teman-teman dari Nasdem ikut bergabung dipimpin langsung oleh ketua Ahmad Basir dan sekretaris Andi Ahmad Yani. Istri saya, Yohanna Palupi Arita, akrab dipanggil Bunda Arita juga hadir. Dia caleg DPRD Kaltim dari Nasdem dapil Balikpapan dengan nomor urut 3.
Ibu Hetifah sebagai petahana juga datang dengan sejumlah mahasiswa yang dapat beasiswa aspirasi Program Indonesia Pintar (PIP). Sedang Ustaz Naspi Arsyad, caleg DPD nomor 14 didampingi para ustaz dan ustazah dari kampus Hidayatullah, Gunung Tembak.
Agung yang bertindak sebagai moderator tidak tanggung-tanggung dalam urusan panelis. Selain menampilkan Rektor UM Prof Dr Ir Ahsin Rifai, M.Si, juga mendatangkan pakar hukum dari Unmul, Prof Dr Muh Muhdar, SH, M.Hum dan Rektor STEIPAN Prof Dr Suhartono, SE, MM, yang pernah menjadi komisaris Bankaltimtara.
“Kita memang ingin serius, biar wakil kita ke DPR RI memang mampu menyuarakan aspirasi kita,” kata Agung, yang juga ketua Asosiasi Perguruan Tinggi (APTISI) XI Kaltim Komisariat Selatan. Agunglah yang menggagas debat ini bekerja sama dengan Aptisi dan Forum Silaturahmi Doktor Indonesia (Forsiladi). Biar masyarakat kampus terutama mahasiswa juga mengetahui kadar caleg-caleg daerah.
Panelis debat Prof Muhdar dan Prof Suhartono.
Sementara ketiga guru besar yang ditampilkan tadi mengapresiasi berlangsungnya acara debat yang dipersiapkan Dientia Dinnear, SH, MH sebagai ketua panitia. Boleh dibilang pertama kali terjadi di kampus Kaltim. Berlangsung meriah dan menarik. “Kita perlu petarung seperti ini supaya suara Kaltim didengar,” kata Prof Muhdar didampingi Dr Piatur Pangaribuan, mantan Rektor Uniba yang juga hadir.
Wakil Kaltim di Senayan memang sangat kecil. Hanya 8 di DPR RI dari 580 anggota ditambah 4 dari DPD RI. Sudah kecil terkesan tidak banyak turun dan tidak kompak. Ada pernyataan dari salah satu anggota, yang mengatakan dia hanya bertarung sendirian. “Kalau saya terpilih, kekuatan Kaltim harus bersatu. Kita harus berjuang bersama-sama,” kata saya.
MAU DEBAT IKN
Prof Suhartono membuka pertanyaan berkaitan soal potensi pertanian dan ketahanan pangan di Kaltim, yang bisa memengaruhi angka inflasi. Menyusul Prof Ahsin menyinggung soal pendidikan dan infrastruktur. Sedang Prof Muhdar menggali soal penegakan hukum. Pertanyaan juga ditimpali dari sejumlah mahasiswa dan pendukung. Mulai soal lingkungan dan sampah, pemanfaatan batu bara dan IKN. beasiswa aspirasi PIP sampai masalah Jl MT Haryono Balikpapan yang terus jadi sorotan warga Beriman.
Hetifah tampil bersahaja. “Saya ini memang bukan orang Kaltim, tapi saya dilahirkan untuk Kaltim,” katanya. Maklum sudah tiga periode menjadi anggota DPR RI dari Bumi Etam, meski dia kelahiran Bandung dan tinggal di Jakarta. Sebelumnya saya bilang sudah saatnya orang kelahiran Kaltim duduk di DPR RI.
Wakil Ketua Komisi X ini sempat ditanya soal pemberian beasiswa PIP yang berbau diskriminatif di lapangan. Ada yang ditolak dan termasuk santri tidak dapat. Juga soal jalan di MT Haryono, yang sudah berganti tahun belum rampung dan dinilai tidak beres.
Hetifah membantah ada perlakuan khusus bagi penerima beasiswa PIP. Dia menilai ada oknum yang kurang tepat melaksanakan petunjuk. Soal Jl MT Haryono diyakininya pasti mendapat perhatian.
Sebagai orang yang berlatar belakang pesantren, Naspi banyak mengutarakan pendekatan pembangunan dari sisi agama dan akhlak. Tapi dia mengaku siap membela Kaltim jika terpilih sebagai senator. Apalagi seperti sudah menjadi tradisi, selalu ada ustaz dari Hidayatullah yang menjadi wakil Kaltim di DPD.
Sebenarnya 29 tahun silam, saya sudah pernah duduk di Senayan. Menjadi anggota MPR Utusan Daerah bersama tokoh Kaltim lainnya seperti H Harbiansyah dan Laden Mering. Presidennya di masa transisi, dari Prof BJ Habibie ke Gus Dur.
Saya dan Hetifah serius bicara penegakan hukum. Saya fokus soal penegakan hukum di sektor minerba terutama batu bara. Sedang Hetifah menyoroti penegakan hukum yang berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat seperti soal kelangkaan elpiji dan BBM. “Di Kalbar, Kapoldanya berani bersikap tegas,” katanya.
Bunda Arita dan timnya.
Menurut saya, penegakan hukum di batu bara sangat mendesak dan krusial. Bayangkan, FITRA menghitung kita kehilangan pendapatan di atas Rp100 triliun per tahun. Mantan ketua KPK Abraham Samad pernah mengungkapkan, jika praktik lancung di batu bara bisa diberantas tuntas, maka setiap keluarga di Indonesia bisa mendapat penghasilan Rp20 juta per bulan tanpa bekerja. Bayangkan.
Saya juga berjanji akan memperjuangkan DBH Migas buat Kaltim lebih besar. Saya juga akan “memaksa” agar Institut Teknologi Kalimantan (ITK) menjadi proyek strategis nasional. Biar lulusan ITK bisa sama kualitasnya dengan lulusan ITB dan ITS. “Kalau tidak, kita cuma bisa menjadi penonton di IKN,” tandas saya.
Menangkap aspirasi yang berkembang di arena debat, Agung Sakti berjanji akan menggelar diskusi khusus tentang IKN. “Kita pertemukan mereka yang pro dan kontra dengan IKN, biar dinamikanya terbuka di masyarakat,” tambahnya.
Saking semangatnya dengan acara debat caleg di kampus Universitas Mulia, malamnya saya bermimpi. Seakan-akan saya ikut Debat Capres/Cawapres di Jakarta. Saya ditegur moderator karena waktunya habis. Saya kaget. Begitu bangun listrik di rumah saya padam. Ternyata saya lupa mengisi voucher atau tokennya. Kalau ini bukan bagian dari debat, tapi kelalaian.(*)