Tulis & Tekan Enter
images

KDRT Dalam Perspektif Hukum dan HAM

Oleh. Wahyuni Nur Fitriah, S.H,.M.H

Rumah adalah sebuah tempat yg dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang aman dan nyaman. Dikatakan demikian karena rumah menjadi wadah yang didalamnya terdapat manusia dg sifat naturalnya, tidakdl dibuat buat, dan sebagainya.  Secara publik bahwa masyarakat beranggapan tempat yg tidak aman adalah di luar rumah. Maka ketika terjadi banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga pandangan publik pun beragam.

Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) adalah tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan hubungan sesuai yang termaktub dalam pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Sejak UU no. 23 tahun 2004 terbit, saat itu juga kasus-kasus tentang keekerasan dalam rumah tangga menjadi hal yang sudah tidak tabuh lagi untuk dibahas dan menjadi persoalan hukum yang patut di perjuangkan.

Tidak ada definisi tunggal dan jelas yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun demikian, biasanya kekerasan dalam rumah tangga secara mendasar, meliputi (a) kekerasan fisik, yaitu setiap perbuatan yang menyebabkan kematian, (b) kekerasan psikologis, yaitu setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, kehilanagan rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada perempuan.

(c) kekerasan seksual, yaitu setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki; dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban; dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya, (d) kekerasan ekonomi, yaitu setiap perbuatan yang membatasi  orang  (perempuan) untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang; atau membiarkan korban bekerja untuk di eksploitasi; atau menelantarkan anggota keluarga.

Lingkup tindakan KDRT adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu.

Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga yang tinggal dalam sebuah rumah tangga. Tidak semua tindakan KDRT dapat ditangani secara tuntas karena korban sering menutup-nutupi dengan alasan ikatan struktur budaya, agama, dan belum dipahaminya sistem hukum yang berlaku. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.

Mengapa perempuan ?

Fenomena kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap kaum perempuan di Indonesia sudah sangat memprihatinkan.

Perempuan rentan sebagai target kekerasan. Pada dasarnya, kekerasan bisa dialami dan dilakukan oleh siapa saja, tak terbatas usia, jenis kelamin, atau status sosial. Hanya saja, perempuan menjadi kelompok paling tinggi sebagai korban kekerasan.

Hak-hak yang melekat pada seorang perempuan adalah merupakan hak asasi manusia, karena perempuan adalah manusia juga, yang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat, sama halnya dengan seorang laki-laki, sehingga tidak boleh ada diskriminasi dalam bidang apapun. Pemahaman ini

didasarkan pada ketentuan pada Pasal 1 Deklarasi Sedunia Tentang Hak-hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.

Yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia, yang bila tidak ada mustahil kita akan dapat hidup sebagai manusia.

Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan. (Pasal 30 Undang-undang Hak Asasi Manusia), dan dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.

Seyogyanya, posisi perempuan apalagi dalam kapasitasnya sebagai isteri tidak pada tempatnya kalau mengalami rasa tidak aman, ketakutan dan penyiksaan yang justru dilakukan oleh suaminya sendiri. rasa tidak aman, ketakutan dan penyiksaan sebagai salah satu bentuk kekerasan itu menyebabkan berkurangnya peran perempuan dalam hal ini istri terhadap pembangunan.

Hubungan kekerasan dalam rumah tangga dengan hak asasi manusia tampak dari pelbagai pernyataan antara lain: bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan rintangan terhadap pembangunan, karena dengan demikian akan mengurangi kepercayaan diri dari perempuan, menghambat kemampuan perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan sosial, mengganggu kesehatan perempuan, mengurangi otonomi perempuan baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan fisik.

 Menurut World Health Organization (WHO), satu dari tiga perempuan di seluruh dunia pernah menjadi korban kekerasan, baik secara fisik maupun seksual, yang dilakukan oleh pasangannya. Artinya, sekitar 30 persen perempuan pernah mengalami peristiwa tak menyenangkan itu.

Bahkan, di Inggris misalnya, berdasarkan data Crime Surveyfor England and Wales, 80 persen korban kekerasan yang dilakukan secara berulang adalah perempuan.Sedangkan di Indonesia, menurut catatan Komnas Perempuan pada 2020, kekerasan terhadap istri (KTI) menempati urutan pertama yakni sebanyak 3.221 kasus (50 persen) dari seluruh total kasus kekerasan pada perempuan. Kemudian diikuti kekerasan dalam pacaran sebanyak 1.309 kasus (20 persen).

Lebih dari 4.600 anak telah mengalami kekerasan selama Januari-Juli 2020 ini. Hampir 60 persen kejahatan itu terjadi di dalam rumah. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) menerima lebih dari empat ribu laporan kekerasan terhadap anak sepanjang 1 Januari hingga 24 Juli 2020.

Mengapa perempuan rentan jadi korban kekerasan?

Ada banyak faktor yang menjadi alasan mengapa perempuan kerap menjadi objek kekerasan. Salah satunya adalah karena dominasi gender. Menurut sebuah penelitian di SAGE Journals, dominasi laki-laki dalam sebuah hubungan kerap kali menjadi pemicu kekerasan.

Satu publikasi di Perpustakaan Kedokteran Nasional Amerika Serikat juga menyebutkan, adanya ketimpangan ‘power’ antara laki-laki dan perempuan bisa menjadi pemicu kekerasan. Ini tak lepas dari stereotip yang beredar di tengah masyarakat bahwa laki-laki lebih kuat dibanding perempuan.

Penegakan Hukum terhadap kasus KDRT

KDRT Sebagai Suatu Kejahatan. KDRT dalam bentuk apapunjelas tergolong tindak kejahatan dan pelanggaran berat terhadap nilai-nilai kemanusian yang universal dari perspektif hak asasi manusia (HAM). KDRT mulai dipandang sebagai tindak kejahatan dengan ancaman hukuman pidana setelah perkara ini ditetapkan sebagai pelanggaran pidana sebagaimana diataur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Penetapannya sebagai kejahatan dengan ancaman hukum pidana amat dipengaruhi oleh suatu keadaan dimana kasus-kasus tentang KDRT makin menguat dan terbuka hingga memancing reaksi keras publik. Pasal 1 KUHP menyatakan, “tiada satu perbuatan kejahatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dan undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu (Nullum Crimen, Nulla PoenaSine Praevia Lege Poenalis).

Sebagai sebuah kejahatan, KDRT juga merupakan perilaku antisosial yang merugikan seorang anggota atau sejumlah anggota dalam rumah tangga dari segi fisik, kejiwaan maupun ekonomi. Penggolongannya ke dalam tindak kejahatan tidak karena perbuatan tersebut bersifat antisosialtetapi karena mengandung maksud jahat yang dapat menimbulkan akibat kerugian fisik dan non-fisik terhadap korban yang dilarang oleh undang-undang pidana.

Segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga baik sifatnya fisik maupun psikis menyebabkan banyak kerugian bagi kelangsungan kehidupan rumah tangga, dampak yang ditimbulkan dari KDRT bukan hanya terhadap persoalan ikatan suami istri tetapi juga terhadap anak, sehingga perlunya upaya hukum untuk memutus rantai kekerasaan dalam rumah tangga secara serius dan konsisten di Negara Indonesia ini, mengingat semakin tingginya kasus KDRT.

Lalu langkah apa yang harus diambil ketika terjadi tindak KDRT ? Dalam persfektif Hukum langkah yang harus diambil adalah melaporkannya kepada pihak yang berwajib (Kepolisian). Hal ini diatur dalam pasal 26 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 

Pasal 26 ayat 1 menyebutkan:

“Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.” 

Pasal 26 ayat 2 menyebutkan:

“Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik ditempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara”

Selain itu juga orang tua atau orang lain yang mendengar, melihat,atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya yang bertujuan sebagaimana disebutkan dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai berikut:

“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan Dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas Kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana; memberikan perlindungan kepada korban; memberikan pertolongan darurat; dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. 

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 17 UU No. 23/2004, mengatur bahwa dalam rangka memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Disampingitu, dalam rangka melakukan pendampingan terhadap korban KDRT, terutamanya terkait memberikan perlindungan dan pelayanan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 25 UU No. 23/2004, maka seorang advokat wajib:

Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan; Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

Perlindungan Yang Dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Sebagaimana diketahui, bahwa selain telah diatur di dalam undang-undang khusus tentang tindak KDRT, perlindungan yang dilakukan LPSK bagi saksi dan/atau korban tindak pidana KDRT saat ini juga diatur di dalam ketentuan Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan atas Perubahan Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 31/2014), terutamanya saksi dan korban kekerasan rumah tangga yang menghadapi situasi yang sangat mengancam.

Sampai disini, maka kita seharusnya mengembalikan Marwah tujuan awal dari sebuah pernikahan untuk membentuk keluarga yang harmonis, saling memahami, saling mengisi, dan saling belajar.

Bahwasannya Segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga baik sifatnya fisik maupun psikis menyebabkan banyak kerugian bagi kelangsungan kehidupan rumah tangga, dampak yang ditimbulkan dari KDRT bukan hanya terhadap persoalan ikatan suami istri tetapi juga terhadap anak sebagai penerus peradaban, sehingga kita dengan sadar dan menyadari perlunya upaya hukum untuk memutus mata rantai kekerasaan dalam rumah tangga secara serius dan konsisten di Negara Indonesia ini, mengingat semakin tingginya kasus Kekerasaan Dalam Rumah Tangga. (*)


TAG

Tinggalkan Komentar