SEPAKBOLA MODERN ITU BISNIS
KaltimKita.com, BALIKPAPAN - Ketika mBah Coco, bekerja untuk program Planet Football RCTI, tahun 1995, sempat mewawancarai Nirwan Bakrie di Hotel Hilton (sekarang Sultan). Pertanyaannya, “Abang mirip seperti Silvio Berlusconi, kombinasi sepakbola, politik dan bisnis?”
Dengan senyum kecilnya, Nirwan menjawab, “Bisa aje elu. Intinya gini, gua bangun bola perlu banyak hal. Wajar, gue dianggap mirip Silvio, tapi gua nggak berpolitik seperti Silvio,” tegasnya. Dari dekade pendekar-poendekar pengelola klub dan peng-hobi bola. Menurut mBah Coco, Nirwan Bakrie, satu-satunya, yang memiliki kerajaan bisnis dari pendahulu-pendulunya, untuk tetap eksis bergelut di sepakbola nasional.
Bedanya versi mBah Coco, antara NDB panggilan akrabnya dan Silvio. Jika Silvio memulai bisnisnya dari seorang advertising, dan kemudian memiliki banyak media, seperti televisi Telemilano, dan kemudian merambah punya RAI, televisi Italia secara monopoli.
Sebagai pebisnis yang lihai, Silvio juga membuka jaringan telivisi kabel, seperti Canale 5, dan banyak bisnis media cetak. Jadilah bangunan holdingnya media grup. Termasuk didalamnya, majalah bergengsi Forbes, dijadikan alat propaganda, membangun image-nya di bidang politik. Dan, buntunya, lahirlah partai baru bernama Forza Italy.
Dari konsep bisnis raksasa yang dibangun enterpreuner Silvio Berlusconi, melangkahkan kakinya sebagai Perdana Menteri (PM) Italia, dua kali hingga saat ini, serta beberapa kali menjadi menteri Tenaga Kerja dan menteri Kesehatan pun, pernah dijabat.
Tidak sampai di situ, klub sehebat AC Milan pun, mampu dibeli dalam menjaga stabilitas bisnisnya. Mungkin, karena apes akibat sudah mampu memiliki segalanya (membeli kekuasaan dan membeli duniawi), Silvio sempat kena getahnya, dilempar sepatu dengan merontokkan giginya, hingga harus dirawat sebulan. Padahal, posisinya saat itu, sebagai perdana menteri Italia.
Sedangkan, Nirwan Dermawan Bakrie adalah salah satu generasi kedua dari keluarga Achmad Bakrie, pengusaha lokal asal Lampung, yang memiliki bendera Kelompok Usaha Bakrie Grup. Sebagai anak ketiga, setelah Aburizal ‘Ical’ Bakrie dan Roosmania ‘Odi’ Bakrie, NDB menghabiskan masa kecilnya di Jakarta, dan kemudian melanjutkan studinya di Amerika, hingga mendapatkan gelar MBA.
Tahun 1985, Nirwan dicambangi Rahim Sukasah dan Bertje Matulapelwa agar mau membangun klub baru. Kebetulan, UMS’80 dibubarkan oleh William Suryajaya, pemilik Astra Grup.
Sepertinya Nirwan sangat tertarik, sehingga lahirlah Pelita Jaya Jakarta. Setelah membangun klub baru, Nirwan juga sangat serius membangun homebase. Maka, dibangunlah sistem kontrak bangun 20 tahun dengan pemda Jakarta Selatan, membangun Stadion Sanggraha Lebak Bulus. Sekaligus punya komplek atlet Pelita Jaya, di Sawangan – Bogor. Disana terhimpun semua atlet binaan Pelita Jaya grup. Seperti bulutangkis, tenis, sepak bola dan basket.
Nirwan Bakrie, sebagai pengendali grup Bakrie, tidak hanya berhenti sampai di situ. Dalam membangun bisnisnya, Nirwan mendapat tawaran dari Agung Laksono, pemilik ANTV untuk mengambilalih televisi swasta tersebut. Maka, tahun 1993, Nirwan sudah menguasai ANTV sepenuhnya.
Dalam bisnis media, Nirwan juga mendapat partner dari M. Nigara (mantan wartawan Bola), untuk membangun media olahraga mingguan, yaitu Media GO. Nirwan Bakrie sangat setuju, ketika tahun 1994, launching tabloid Media GO, bisa mendatangkan klub elit Italia, Sampdoria dan AC Milan.
Saat itu, Nirwan Bakrie sudah memasuki organisasi PSSI, di mana pertama kalinya Nirwan ditunjuk menjadi manajer tim PSSI yang dipersiapkan ke Pra Piala Dunia 1988 – 89 juga manajer tim PSSI Merdeka Games 1989, di era kemimpinan Kardono. Tahun 1992 – 93, Nirwan sudah duduk dalam kepengurusan PSSI, sebagai ketua III. Sekaligus mencetak “super team” PSSI Primavera dan Baretti.
Masih belum puas dalam merambah media, Nirwan juga membeli beberapa media, Nusra (Bali), Sinar Pagi (Jakarta), dan Berita Buana (Jakarta) yang dipindah dari harian pagi menjadi harian sore. Juga menginvestasi program RRI Program 2. Sementara itu, abangnya Aburizal Bakrie, masih doyan memelihara koran nasional - Pelita.
Saat itu, bisnis Bakrie Grup semakin berkibar, sehingga mampu merambah ke batubara, minyak, kontruksi, jalan tol, asuransi dan bank. Hanya saja, saat membangun dunia perbankan, dengan membeli Bank Nusa Nusantara, Nirwan Bakrie terimbas kasus likuiditas BLBI tahun 1997, bersamaan dengan runtuhnya regim Soeharto.
Dari sinilah, sepertinya Nirwan Bakrie alergi melanjutkan pembangunan sepak bola dan medianya. Imbasnya, Pelita Jaya Jakarta diberikan pengelolaannya oleh Nurdin Halid. Harian Nusra (kini Nusa) diberikan ke teman-temannya.
Sedangkan Sinar Pagi dan Berita Buana dikubur habis-habis nasibnya. Bahkan, sejak berhenti kompetisi, akibat adanya kerusuhan nasional, Pelita Jaya, menjadi muzafir, pindah-pindah homabase, dari Solo, ke Cilegon, Purwakarta, Kerawang, sampai sebelum jadi Madura United, namanya antik banget. Pelita Manstrans Persipasi bekasi..
Namun, kian membaiknya Grup Bakrie, dalam tahun 2008, NDB membeli Lativi milik Abdul Latief, dan menjadikan televisi swasta tersebut berubah jubahnya menjadi TvOne. Praktis, saat ini, Nirwan memiliki dua televisi, dan juga menambah ada portal online, Viva News.
Di sepak bola, sejak Nurdin Halid bercokol di PSSI tahun 2002, Nirwan Bakrie sepertinya juga semakin terlibat banyak dalam membangun manajemen PSSI, dengan posisi sebagai Wakil Ketua PSSI, serta ikut membidani Badan Liga Indonesia, menjadi perseroan terbatas, sebagai badan usaha bisnis di bawah naungan PSSI (yayasan). Artinya, sepak terjang Nirwan, memang sangat panjang berliku mewarnai dunia sepak bola, dari tahun 1985 hingga saat ini.
Masih belum goyah “gilbol”-nya, awal 2019, Persija Jakarta dibeli 99% oleh NDB dari pengelola sebelumnya Ferry Paulus. Dan, juga membeli semua saham 30 klub amatir anggota Persija Jakarta. Terakhirnya, semua klub dibeli dengan harga Rp 100 juta, setiap klub amatir dibawah naungan Askot Jakarta.
DULU HOBI
Bandingkan, dengan pengusaha-pengusaha sukses sebelum zaman Nirwan Bakrie, yang juga ikut andil mendirikan Liga Utama Sepak Bola (Galatama), di zaman kepemimpinan Ali Sadikin. Mereka-mereka itu, lebih dominan menjadi penggila bola, yang berhobi membangun klub, tanpa berorientasi mikirin bisnis.
Sebetulnya, sebelum ada lembaga Galatama, tahun 1968, ada penggila bola asal Medan, TD Pardede yang membangun klub barunya dengan nama Pardedetex. Nyaris semua pemain hebat di zaman itu dijadikan satu tim besar di Medan. Ada Sucipto Suntoro, Abdul Kadir, Iswadi Idris, Jacob Sihasaleh, Sinyo Aliandu, Ronny Pasla, Risdianto.
Namun, saat bergabung sebagai anggota Galatama tahun 1979, TD Pardede sepertinya frustasi melihat cara-cara kompetisi sepak bola nasional. Sepakbola, sudah dirasuki virus suap menyuap. Maka, TD Pardede mengundurkan diri. Penggantinya, Johnny Pardede, juga nggak lama. Akhirnya TD Pardede nggak kuat, melihat kompetisi semakin kotor, dan Pardedetex FC dibubarkan.
Di Jakarta, juga membanjir pengusaha-pengusaha yang berhobi membentuk tim, yang sifatnya lebih kekeluargaan, ketimbang membangun bisnis bolanya. Benny Mulyono, pemilik pabrik cat terbesar zaman itu, Warna Agung, adalah klub elit yang pertama kalinya menjuarai Galatama tahun 1979.
Dihuni pemain nasional, Risdianto, Reny Salaki, Ronny Pattinasarany, Rully Nerre, Robby Binur, Timo Kapisa, Endang Tirtana, Tinus Haipon, Marsely Tambayong, dan terakhir sebelum membubarkan diri, masih menyisakan Widodo C Putra. Sayangnya, Benny Mulyono, ikutan frustasi, melihat cara-cara kompetisi yang lebih dominan main suap menyuap.
Masih dari Jakarta. Tunas Inti galatama, yang dibangun lewat hobi Benniardi, pemilik PT Tempo Tbk (pabrik obat-obatan). Akhirnya ikutan terlindas, gaya permaianan suap menyuap, walaupun saat itu dihuni oleh banyak pemain besar, diantaranya Ronny Pattinasarany, Rusdin Lacanda dan pemain asingnya Issac Moses (pemain asal Belanda berdarah Ambon).
Saking gilanya Benniardi, tidak hanya membangun Tunas Inti. Lahir adiknya klub, Tempo Utama, yang dihuni Wahyu Tanoto, Paulus Rogger. Tapi akhirnya, Tunas Inti dan Tempo Utama, juga gulung tikar. Bersamaan bangkrutnya bisnis PT Tempo, saat itu disinyalir, Benniardi, selain pengusaha, hobinya judi bola.
Di Surabaya, ada A. Wenas, pengusaha papan atas asal Surabaya, yang memiliki rumah judi terbesar di kawasan Indonesia Timur, juga membangun klub bernama Niac Mitra. Nyaris, semua pemain Persebaya Surabaya, saat juara Suratin Cup 1977 direkrut, seperti Hamid dan Riono Asnan, Rudi Keltjes, Rae Bawa, Joko Malis dan Syamsul Arifin.
Bahkan, dua pemain PSM Makassar, Yusuf Malle dan Dullah Rachim juga ditransfer. Niac Mitra saat itu, tidak hanya bintang Persebaya yang direkrut, tapi juga dua pemain asing asal Singapura, Fandi Achmad, dan David Lee. Namun, karena tidak memiliki wawasan berbisnis bola, akhirnya Wenas juga bangkrut membangun Niac Mitra.
Dari Jawa Tengah, nama Arseto Solo, menjadi salah satu tim elit pendiri Galatama – liga semi profesional. Klub milik Sigit Harjoyudanto, juga dihuni oleh banyak pemain-pemain legenda, Ricky Yacobi, Nasrul Kotto, Eduard Tjong. Dana yang dikucurkan anak mendiang Presiden Soeharto, menurut mBah Coco nggak ada limitnya. Bahkan, Stadion Manahan Solo pun ikut dibangun secara megah.
Namun, gara-gara sistem pembinaan yang amburadul, akibat gaya membina PSSI Primavera, yang dengan terang-terangan mencaplok pemain binaan klub Arseto, akhirnya berbuntut pembubaran klub elit Solo. Saat itu, Indriyanto Nugroho, adalah pemain asli Solo yang dibina Arseto Solo.
Saat memperkuat Haornas Jateng, Indriyanto masuk dalam talenta skuad Primavera yang disekolahin ke Italia. Namun, setelah pulang ke Indonesia, ujug-ujug Indriyanto sudah diakui milik Pelita Jaya. Ismed Tahir, yang menjadi tangan kanan Sigit Harjoyudanto, sepertinya murka, dan memberi sikap yang sangat miris. Menjual nilai transfer Indriyanto Nugroho hanya sebesar Rp 100 (baca seratus perak) ke Pelita Jaya.
Bagi semua media mainstream saat itu, termasuk mBah Coco, menilai cara-cara yang dilakukan manajemen Pelita Jaya, didinilai sangat tidak etis dalam merekrut pemain. Dan, setelah itu, Arseto tahun 1995 membubarkan diri.
Dari ujung timur Indonesia, juga ada klub elit saat itu, namanya Makassar Utama, milik Yusuf Kalla (mantan wakil presiden). Saat itu, Makassar Utama adalah satu klub yang lumayan disegani. Ada nama-nama Gaffar Hamzah, Hafid Ali dan Syamsuddin Umar. Namun, karena terkait banyak permainan suap menyuap, juga hasilnya Makassar Utama dibubarkan.
Di luar nama-nama klub di atas, sebetulnya hampir ‘sami mawon’ nasibnya. Nama-nama klub Jaka Utama (Yanita Utama/Krama Yudha Tiga Berlian), Mercu Buana (Medan Jaya), Lampung Putra, BBSA, Cahaya Kita, Angkasa, UMS’80, Perkasa Mataram, Sari Bumi Raya, BPD Jateng, Gajah Mungkur, Tidar Sakti, Caprina, Bintang Timur, Aceh Putra, Bima Kencana, Bali Yudha, Bima Kencana, Palu Putra Galatama dan Pupuk Sriwijaya, dan masih banyak lagi, akhirnya semua terkubur.
Bahkan, klub raksasa di zaman itu, seperti Jayakarta yang dikelola FH Hutasoit, juga harus bangkrut, walaupun saat itu nyaris dihuni oleh begitu banyak pemain nasional.Dari Sudarno, Iswadi Idris, Sofyan Hadi, Onyong Lisa, Anjas Asmara, Sutan Harhara dan Andi Lala. Begitupula, Indonesia Muda, milik Dimas Wahab, juga bubar di tengah jalan, setelah tersudut oleh kasus-kasus suap. Padahal disitu, ada nama-nama Ronny Paslah, Johanis Auri, Sueb Rizal, Junandi Abdullah, Dede Sulaiman dan Hadi Ismanto.
Sisi positif dari klub-klub Galatama yang pernah diikuti 41 klub di zaman itu, menurut mBah Coco, sudah benar dikelola oleh pihak swasta dan pribadi-pribadi, yang memiliki usaha bisnis yang lumayan besar.
Negatifnya, mereka para pengusaha di zaman itu, sifatnya hanya sekadar hobi dan sekadar penggila bola (bisa jadi hanya ikut-ikutan), bukan mau bisnis di sepakbola. Sebaliknya, di zaman sekarang, nyaris 90% dikelola bergaya majikan (pengusaha), tapi dananya dicubit dari APBD sampai 2008. Dan, sejak 2008 hingga 2021 ini, bisnis para pemiliknya nggak jelas. Bijimane, mua menuju ke arah industry?
Dulu, nama-nama klub sangat bagus dan lumayan sangar, misalkan Jayakarta, Warna Agung, Niac Mitra, Bandung Raya, Yanita Utama, Arema Malang atau Mercu Buana. Bandingkan, nama-nama tim yang ikut di Super Liga Indonesia, yang cenderung namanya dari singkatan, seperti Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, PSM Makassar, Persipura Jayapura atau Persib Bandung.
Seandainya, masih ada sisa-sia anggota Galatama, hanya bisa dihitung dengan jari, seperti Barito Putra, Arema Malang, Semen Padang (anggota Liga 1).
Menurut mBah Coco, perlu saatnya merubah nama, pada saat berubah menjadi perseroan terbatas, tapi holdingnya, Persija Jakarta, misalnya. Sedangkan, nama klubnya misalkan,Jayakarta, dihidupkan kembali.
BISNIS INVESTASI
Sebagai jurnalis bola, mBah Coco, mencoba mendeteksi semua sepak terjang dunia bola, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Intinya, menapaki sepak bola modern saat ini, semuanya serba barbau bisnis. Dan, matematikanya dihitung dengan uang yang tidak kecil, dalam membangun investasinya.
Jika tidak paham betul dalam bisnis sepak bola, bisa-bisa semuanya ludes dan bangkrut. Klub se-raksasa Manchester United pun, walaupun memiliki income ratusan juta dolar, karena terkait dengan bisnis holding (sang pemiliknya), bisa jadi klub super elit Inggris ini, masih menyisakan banyak hutang.
Di Indonesia, cepat atau lambat, untuk pengelola bola, tidak bisa hanya minta disusui APBD seperti dari 1994 sampai 2008. Khususnya, nyaris semua tim yang awalnya dari perserikatan masih menggunakan celah-celah anggaran dari pemerintah daerah. Jika hal tersebut tidak diberi rambu-rambu secara tegas, sepak bola nasional tetap akan terpuruk atau hanya ‘jalan ditempat’, atau semakin tertinggal.
Oleh sebab itu, pengelola sepak bola yang mengikuti kompetisi di level Liga 1 Indonesia, ataupun Liga 2, sudah harus memikirkan untung rugi dalam membangun sepak bolanya. Salah satu, investasi yang wajib dimiliki oleh setiap klub, adalah memiliki hak sepenuhnya mengelola infrastruktur, yang namanya stadion.
Stadion, bagi mBah Coco, adalah modal super penting dalam menghasilkan uang cash dan fresh. Mengapa? Ya, karena dari hasil tiket penonton tersebut, setiap klub langsung bisa memutar investasi. Oleh sebab itu, stadion sangat sakral bagi setiap klub yang ingin bisnis sepak bola. Tanpa, punya stadion yang dikelola sendiri oleh klub, maka jangan harap bisa melakukan bisnis dalam sepak bola, berwadah industri.
Pemerintah daerah, baik gubernur/walikota ataupun bupati harus diberi instruksi dari pemerintah pusat (dalam hal ini presiden). Bahwa, setiap klub diberi kesempatan mengelola stadion yang sudah ada di kota-kota tersebut, dengan harga relatif murah atau gratis.
Sehingga, setiap tim, wajib mengelola sekaligus pemeliharaannya. Nanti, setelah memiliki income yang sudah stabil, baru diberi kesempatan melakukan bisnis sewa menyewa juga dalam batas-batas murah. Hingga, sampai mencapai kestabilan dalam membangun bisnisnya. Pihak pemerintah daerah hanya mengontrol sebagai penyeimbang, agar tidak kebablasan menjadi bagian dari kongkalikong atau korupsi.
Kalau Presiden Jokowi semakin serius mikirin bola. Maka, pemerintah daerah gubernur, walikota dan bupati, hanya bisa menganggarkan alokasi APBD-nya hanya untuk sebanyak mungkin membangun infrastruktur stadion dan bandara modern. Dan, khusus untuk stadion langsung diberi kepercayaan setiap tim untuk mengelolanya dengan benar, termasuk pemeliharaannya.
Kasih kesempatan setiap tim mengelola dengan bentuk kerjasama selama 10 tahun, dan sepuluh tahun berikutnya harus, sudah menghasilkan bagi hasil dengan pemerintah daerah (misalnya). Jika, klub tak mampu memelihara stadion, segera angkat kaki.
HARUS UNTUNG
Taktik dan strategi setelah memiliki stadion yang dikelola sendiri. Maka, semuanya bisa dijadikan ladang uang. Salah satu taktik yang paling jitu, setiap tim harus memberi informasi kepada penggemar dan calon penggemarnya, bahwa tim yang dikelola itu adalah kumpulan para aktor dan para selebritis yang pantas ditonton, seperti halnya penggemar musik nonton Slank, atau nonton Iwan Fals, Dewa ataupun grup band besar.
Yaitu, harus membayar dengan nilai-nilai tertentu. Saran mBah Coco, minimal untuk nonton tim seperti Persebaya Surabaya, Persib Bandung, Persija Jakarta atau Arema Malang, pantas dihargai minimal Rp 100.000. Jika perlu, PT Liga Indonesia Baru (LIB), memberi standart bagi klub yang ikut kompetisi Liga 1 Indonesia, dengan nilai tersebut. Sedangkan, penonton di Liga 2, minimal harus membeli tiket paling murah, sebesar Rp 50.000.
Jika, syarat-syarat tersebut sudah bisa disosialisasikan dan disyahkan sebagai standart tiket minimal setiap pertandingan. Maka, tugas pengelola/pelaku tim yang sudah investasi tersebut, harus tidak bisa kompromi kepada kelompok suporter ataupun fans club. Untuk minta harga diskon, kecuali siap membeli tiket terusan 17 pertandingan home (5%). Kalau hanya membeli sekali nonton, ya harus bayar full Rp 100 ribu (rata-rata), kelas I - Rp 250 ribu dan VIP dihargai Rp 500 ribu (ya harus nyaman).
Contoh : Stadion Kanjuruhan, jika diberi kesempatan dikelola sendiri oleh Arema Malang, tanpa ikut campur pemerintah daerah (walaupun tanah dan bangunan itu milik pemda Kabupaten Malang). Maka, jika kapasitas stadion Kanjuruhan, 50 ribu penonton. Jika, rata-rata tiket termurah harganya Rp 100 ribu, maka income Arema Malang dalam setiap pertandingan mencapai Rp 5 miliar.
Jika Arema Malang, menggelar 17 kali pertandingan di kandang ‘Singo Edan’, akan mendapatkan tiket penonton sebesar Rp 85 miliar (delapan puluh miliar rupiah). Kalau, targetnya meleset, hanya 50% dari target income. Maka, Arema Malang, satu musim tidak kurang meraup Rp 40 miliar.
Pemasukan riil yang langsung, menjadi nyata adalah merchandising. mBah Coco, ngiler melihat outlet independent yang mengolola merchandising di kota Malang, dari semua asesoris yang memiliki icon-icon Arema Malang. Jika, manajeman Arema Malang diberi ilmu oleh LIB, maka pemasukan setiap musim Arema Malang, bisa meraih mendapatan bersih sekitar Rp 5 miliar (kostum home and away, pin, slayer, topi, mug dll).
Yang tidak lagi bisa dibendung oleh PT LIB atau pun PSSI. Bahwa, tivi lokal milik Arema Malang, sudah saatnya diberi kebebasan. Jika selama ini, PSSI dan LIB tidak memperbolehkan tivi lokal milik klub, ikutan siaran langsung. Saatnya, tidak bisa dilarang-larang seenak jidatnya.
Ada cerita dari Yoyok Sukawi, pengelola PSIS Semarang. Saat, tim ‘Mahesa Jenar” melakukan ujicoba melawan klub-klub anggota Liga 1 atau 2 yang memiliki fanatisme yang sama dengan PSIS Semarang. Maka, sekali siaran langsung dan streaming, bisa menghasilkan Rp 1 sampai 2 miliar. Saatnya, PSSI dan LIB nggak boleh monopoli.
Awal 2010, mBah Coco pertama kalinya kenalan dengan manajer Persebaya, Saleh Mukadar di Jakarta. mBah Coco tawarkan - Flexi yang ingin bermain dan terlibat di sepak bola nasional. Nilainya memang tidak banyak, sebesar Rp 2 miliar. Bahkan, pihak manajemen marketing Flexi, sudah menujuk dan naksir berat dengan Persebaya Surabaya, karena memiliki suporter yang fanatik dan militan. Kompensasinya, jika mampu masuk tiga besar atau juara, nilai kontraknya bertambah.
Hanya saja, waktu itu mBah Coco diberi peran sebagai konsultan, agar bisa cawe-cawe memberi saran, kepada Persebaya Surabaya, sebagai kandidat musim 2010. Dari pembicaraan mBah Coco, dengan Saleh Mukadar, sarannya kalau bisa bekerjasama dengan pihak Flexi, disarankan tidak memilih pelatih, Danurwindo.
Alasan mBah Coco, mengapa Persebaya Surabaya, agar tidak memilih Danurwindo? Danur itu pelatih brilian. Sayang, tidak mampu menterjemahkan ilmu-ilmunya kepada pemainnya, dan tidak pernah bias, menjadi teman atau sahabat bagi para pemain. Intinya, Danur itu pinter tapi kaku, jadi kalau memakai Danur, harus ditandem asisten yang menganyomi.
Namun, seminggu berikutnya Saleh Mukadar sepertinya ndableg, dengan bangga menulis di statusnya di jejaring sosial Facebook, yang intinya, walaupun banyak orang menentang terpilihnya Danurwindo memoles Persebaya Surabaya, saya putuskan justru memilih Danurwindo. Demikian kira-kira status Saleh Mukadar.
mBah Coco, menganalis, bahwa dalam mengelola sebuah lembaga yang berorientasi bisnis, seharusnya Saleh Mukadar berpikir kompromi. Memang, saran mBah Coco belum tentu benar, jika Persebaya Surabaya tanpa Danurwindo bisa juara.
Namun, harusnya Saleh Mukadar, juga berpikir bisnis, karena saran mBah Coco, jika Danurwindo bukan pilihan, ada solusi mengontrak Daniel Roekito. Karena, sosoknya bertanga dingin, sering membawa tim biasa-biasa jadi trengginas dan juga bisa juara. Kalau saat itu, Saleh Mukadar, mau memilih Daniel Roekito, maka manajemen Flexi akan mengucurkan dana Rp 2 miliar, sebagai sponsorship awal (meningkat jika punya prestasi).
Ada pemasukan yang sampai hari ini, masih ‘dicurangi’ LIB. Yaitu, punya nilai-nilai hak siar yang luar biasa. Jika live streaming klub sekelas PSIS Semarang, dalam ujicoba punya nilai Rp 1 miliar. Seharusnya, dalam kompetisi, nilai hak siar setiap klub punya nilai yang berbeda-beda. Sesuai kasta dan rankingnya.
Minimal, menurut mBah Coco, lima (5) besar Liga 1 Indonesia, berharga Rp 2 miliar. Artinya, dalam satu musim, sebagai tuan rumah, kelima klub besar tersebut, sudah mengantongi pemasukan sebesar Rp 24 miliar. Jika, ke-5 kasta tertinggi, bertandang ke klub-klub kasta terbawah, juga meraih nilai hak siar, sebesar Rp 500 juta. Karena, klub kasta terbawah, diuntungkan menghasilkan tiket termewah, saat bertemu lima klub kasta tertinggi.
Aturan-aturan di atas, harus dijalankan LIB, agar setiap tim bisa meraup sebanyak mungkin income dari berbagai sumber sebagai haknya (bukan jual beli pertandingan), atau hanya bisa ngatur mengatur skor.
Ada contoh, dalam format hiburan. Saat, Iwan fals launching album terbarunya, ‘Keseimbangan’, tahun 2010, hak siaran langsungnya dibeli pihak TvOne. Milai, Rp 300 juta.
mBah Coco, memberi gambaran, kepada LIB, bahwa seharusnya EMTEK (SCTV dan Indosiar) harus mencontoh sistem bisnis seperti itu. Kalau mau beli siaran Arema Malang versus tim favorit Persija Jakarta (sebagai big match), nilainya Rp 2 miliar.
Namun, kalau menghadapi Persiraja Banda Aceh (tim promosi) nilainya, Rp 500 juta. Berarti satu musim, jika aturan ini diberlakukan. Arema Malang, dalam satu musim rata-rata mendapat pemasukan hak siar, sebesar Rp 24 miliar (home), plus Rp 8.5 miliar (away).
Jadi, total pendapatan tim sekelas Arema Malang, yang memiliki infrastruktur stadion yang dikelola sendiri dalam satu musim. Dapat Rp 40 miliar (prediksi hanya 50% dari hasil tiket). Plus, hak siar Rp 32.5 miliar, merchandising Rp 5 miliar, PT Bentoel Rp 7 miliar (sebagai goodwill), sponsorship Rp 30 miliar. Jumlahkan saja berapa nilainya?
mBah Coco, coba ngajak berhitung bareng-bareng, pengeluaran satu musim dari manajemen Arema Malang secara kasat mata. Untuk keperluan kontrak pemain sekitar Rp 25 miliar (sudah mendapatkan kualitas pemain yang mumpuni dan berkualitas). Transportasi-akomodasi away Rp 4 miliar. Mess pemain dan makanan bergizi Rp 3 miliar, panitia pertandingan Rp 4 miliar. Ujicoba dan persiapan tim menjelang kompetisi Rp 1 miliar. Maka, totalnya Rp 37 miliar sebagai modal produksi.
Hasil akhir setelah kompetisi, Arema menghasilkan Rp 114.5 miliar (kira-kira, jika dihitung punya pinzaman ke bank sebesar Rp 25 miliar. Maka, pihak bank, akan memberi pinzaman, mengingat punya perhitungan bisnis dengan keuntungan yang nyaris 30% dari nilai pinzaman per tahun).
Tim sebesar Arema Malang, masih punya pemasukan tambahan, jika mampu membangun kompetisi lokal amatir untuk pembinaan di usia dini, dari U-12, U-14, U-15, U-16 dan U-19 untuk mencetak pemain berbakat di sekitar kota Malang dan sekitarnya.
Menurut mBah Coco, Arema Malang, saatnya membangun investasi jangka panjang dengan memutar roda kompetisi pembinaan, kira-kira nilainya tidak lebih dari Rp 5 miliar. Namun, bisa menghasilkan talenta-talenta berbakat, dengan nilai jual tinggi. Konsep ini, sebetulnya mengurangi anggaran pembelian pemain lokal atau asing, tapi memaksimalkan pemain binaan sendiri.
Jika Arema Malang memiliki prestasi, misalkan juara Liga 1 Indonesia atau juara Piala Indonesia, maka juga akan meraih hadiah yang bergelimpangan uang. Bisa mencapai Rp 40 sampai Rp 100 miliar. Makanya, sejak awal, semua klub harus dapat sosialisasi dari PSSI dan LIB dengan benar. Bahwa, membangun klub bola, itu orientasinya hanya satu, yaitu berinvestasi, untuk menghasilkan bisnis sebesar mungkin.
Otomatis, jika Arema Malang juara, dipastikan mewakili Indonesia di laga AFC Cup. Sebagai wakil Indonesia, AFC sudah memberi bonus sebagai peserta, sebesar Rp 5 miliar (sebagai subsidi) untuk penyelenggara dan juga transportasi away. Dengan menggelar tiga (3) kali pertandingan kandang dari peserta AFC Cup, Arema Malang, lagi-lagi diperkirakan masih mengantongi Rp 15 miliar dari tiga (3) partai home.
Jika, masa depan klub-klub Indonesia, mampu mencapai prestasi puncak di level kompetisi Asia, maka hadiahnya semakin gila-gilaan. Tahun 2010, juara AFC Cup bisa mencapai Rp 50 miliar, mencapai semifinal sudah dapat Rp 25 miliar. Menggiurkan bukan?
Perhitungan sistem bisnis sepak bola, menurut mBah Coco, bukan hanya ‘macan kertas’. Semuanya, wajib harus dimulai dari tekad dan kepedulian pemerintah Jokowi. Yaitu memberi bonus setiap klub, mengelola infrastuktur stadion dan seisinya. Benahi, semua elemen-elemen yang ada dalam pembinaan dan kompetisi.
Jika, pemerintah cq Menpora, Mendikbud, PSSI, dan LIB sepakat, prediksi mBah Coco, hanya butuh waktu 8 musim ke depan. Semua klub yang ikut kompetisi, tidak lagi pontang-panting mengelola tim, dengan uang seadanya, sambil ngutang kanan-kiri. Tapi, dengan investasi, pembinaan dan prestasi nongol dengan sendirinya. Bijimane?
(*Erwiyantoro atau Mbah Cocomeo adalah pengamat dan jurnalis sepakbola senior asal Semarang)