HUJAN yang mengguyur Kota Solo tak menghentikan langkah kami memenuhi ajakan Sahbirin Noor, tuk ngobrol dan segelas kopi sebagai penghangat. Lewat ajudan, kami diarahkan ke teras bebas rokok Hotel Swiss Bell.
"Saya bahagia dan merasa terhormat berada di Solo, " kata Sahbirin, setelah dia mempersilakan kami duduk.
Kebahagiaan Paman Birin -- demikian dia biasa dipanggil -- terpancar di wajah dan setiap kalimat yang ia ucapkan. Obrolan malam itu diwarnai dengan tawa dan canda.
"Saya terhormat diberikan nomor sepuluh dan dipercaya sebagai kapten tim, " katanya.
"Sebagai kapten lebih bahagia ketimbang saya mencetak gol, " katanya lagi.
Dalam partai eksibisi "Football for Friendship", Sahbirin memperkuat tim "Garuda Merah" bersama legenda-legenda Tim Nasional; Rully Nere, Frans Sinatra Huwae, Herry Kiswanto.
Dia berlawanan dengan Gibran Rakabuming Raka, Walikota Solo, yang memperkuat "Garuda Putih". Bersama Gibran, di antaranya, Bambang Nurdiansyah Adityo Darmadi, Ansyari Lubis.
Pertandingan bergengsi dengan kegembiraan ini berlangsung di Stadion Manahan sesuai permintaan Gibran, sekaligus mengawali Turnamen Sepak Bola Antarwartawan memperebutkan Piala Gibran.
"Saya cetak satu gol tuk 'Garuda Merah' ya, " kata Sahbirin.
Sahbirin semakin senang dan bangga ketika diberitahu bahwa gawang yang ia bobol itu dikawal Eddy Harto, kiper Tim Nasional saat Indonesia meraih medali emas sepak bola pada SEA Games Manila 1991.
"Ya ... , " kata dia ketika Erwiyantoro menyebut nama Eddy Harto.
Hujan, malam itu, belum juga berhenti dan tawa, serta canda kami, masih saja terdengar deras.
"Sungguh saya bahagia. Sepak bola buat saya senang-senang. Jangan campur sepak bola dengan politik," kata Sahbirin.
Siap Paman ... sampai jumpa di lapangan sepak bola ... (Yon Moeis)