KaltimKita.com, SANGATTA - Membaca berbagai ocehan sinis yang menghiasi dunia maya, pikiranku melayang ke masa silam. Suatu masa dimana aku dan adik-adikku harus bekerja keras untuk bisa bertahan hidup. Keterbatasan ekonomi orang tua membuat kami hidup serba kekurangan. Jangankan berpikir kemewahan, untuk memenuhi kebutuhan makan harian saja terasa sangat berat.
Masih segar dalam ingatanku, ketika aku dan adikku, Mahyunadi harus menjadi kuli batu bata hanya demi sesuap nasi. Kala itu, aku masih duduk di bangku SMA. Kondisi itu mendorongku berusaha keras menyelesaikan sekolah, dengan satu harapan, kelak aku bisa menyelamatkan masa depan adik-adikku. Beruntung aku bisa menyelesaikan SMA, bahkan melanjutkan studi di Universitas Lambung Mangkurat. Sebuah studi yang dijalani dengan penuh keprihatinan.
Pernah hidup dari kalangan ekonomi menengah bawah membuat pasangan kakak beradik yang sukses Mahyudin dan Mahyunadi selalu terpanggil membantu sesama.
Untuk membiayai kuliah, berbagai pekerjaan harus aku jalani. Jualan pisang goreng di pagi dan sore hari, dan menjadi tukang ojek di kala malam tiba. Sedih, letih, bahkan kadang lapar tidak aku rasakan. Keinginanku menjadi sarjana yang kelak bisa menolong keluarga, menjadi penyemangat ketika rasa putus asa datang menerpa. Dengan cucuran keringat dan air mata, akhirnya gelar sarjana pun berhasil kuraih.
Keberhasilan itu tidak terlepas dari pengorbanan adikku, Mahyunadi. Demi kakaknya bisa kuliah, Mahyunadi mengambil alih beban keluarga. Hidupnya dihabiskan untuk membantu orangtua bekerja. Ia rela mengorbankan pendidikan SMA nya demi keluarga. Berbagai kerja serabutan yang dilakoninya membuat dia tidak memiliki kesempatan untuk sekolah. Sebagai anak tertua, akulah yang seharusnya mengambil beban itu. Mahyunadi dengan jiwa besarnya rela mengganti apa yang seharusnya menjadi tanggungjawabku.
Tidak berlebihan jika aku bertekad untuk menyelamatkan pendidikannya. Akupun mendorong Mahyunadi untuk ikut ujian paket C. Alhamdulillah ijazah itu tidak hanya sah di mata dunia pendidikan. Ijazah itu bahkan telah mengantarkan Mahyunadi ke jenjang S1 dan S2 di Perguruan Tinggi kebanggan Kalimantan Timur, Universitas Mulawarman. Mungkin mereka yang bermental picik akan berkata, “kok hanya lulusan paket C”? Aku justru balik bertanya,”emangnya apa yang salah dengan paket C? Apakah paket C mengindikasikan seseorang tidak berpengetahuan?”.
Terkadang celotehan yang tidak “populer” itu mengusik emosiku. Tapi ketika aku melihat Mahyunadi yang memiliki semangat dan dedikasi melebihi mereka yang arogan dengan predikat lulus SMA, emosiku menjadi sirna. Kebahagianku saat ini adalah melihat kesuksesannya, dan menyaksikan perjuangannya untuk orang-orang yang membutuhkan uluran tangannya.
Aku yakin, selalu ada harapan bagi orang yang mau berusaha, selalu ada jalan bagi orang yang mau berusaha. Teruslah berjuang adikku, jadikan setiap cibiran dan cemooh sebagai tonggak meraih kesuksesan. Tetaplah menjadi Mahyunadi yang berjiwa besar, santun yang mampu bertindak atas dasar kemaslahatan, bukan semata ambisi dan haus kekuasaan. Jadi lah yang terbaik, dan sebaik baiknya manusia adalah yang berguna bagi manusia lainnya. (tim)