Catatan Rizal Effendi
ANGKA Dana Bagi Hasil (DBH) Tahun 2026 untuk Kaltim sepertinya sudah keluar. Besarannya sekitar Rp2,49 triliun. Angka itu dikutip dari dokumen resmi yang dirilis Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang diterima Pemprov Kaltim akhir September lalu.
Jika dilihat dari angka tersebut, maka kebijakan pemangkasan yang dilakukan Pemerintah Pusat memang sangat keras dan telak. Biasanya DBH yang diterima Kaltim sebagai bentuk dari dana Transfer ke Daerah (TKD) berkisar Rp10 triliun-an. Artinya untuk tahun depan Kaltim hanya menerima seperempat dari angka-angka sebelumnya. Jadi pemangkasannya sampai 75 persen.
Dengan angka Rp2,49 T itu, maka APBD Kaltim Tahun Anggaran 2026 akan turun drastis. Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA/PPAS) 2026 yang sudah disepakati Rp21,3 triliun mau tidak mau harus ditinjau lagi atau dilakukan penyusunan ulang (reposturing). Sebab, APBD Kaltim 2026 diprediksi hanya berkisar Rp12-an triliun terdiri Rp9,33 triliun dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sisanya dari DBH tadi dan pendapatan lain-lain.
Kebijakan pemangkasan TKD tidak saja ke pemprov, tapi juga dilakukan Pemerintah Pusat ke kabupaten/kota. Nasib kabupaten/kota pasti lebih parah lagi. Karena terkena efek beruntun. Selain DBH Pusat yang turun, maka otomatis bantuan keuangan (Bankeu) dari Pemprov juga menurun.
Ada yang berharap Gubernur Haji Rudy Mas’ud (HARUM) dan Wagub Seno Aji mengeluarkan “aji kesaktiannya.” Karena posisi politiknya yang baik dan menguntungkan. Bukankah HARUM adalah ketua Golkar Kaltim dan Seno ketua Gerindra Kaltim?
Bos HARUM di DPP Golkar adalah Bahlil Lahadia, yang menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (SDM). Sedang Seno tidak tanggung-tanggung. Presiden Prabowo Subianto adalah ketua Umum DPP Gerindra.
Seyogianya Gubernur Rudy bisa melobi bosnya. Minta agar komposisi atau formula pemberian DBH Migas ditingkatkan seperti Aceh dan Papua. Untuk gas 55 persen dan minyak 40 persen. Sedang Wagub bisa lapor ke Presiden agar Kaltim yang kata dia memberi kontribusi 1.000 triliun dari batu bara bisa diberlakukan lebih proporsional atau istimewa dalam kebijakan pemangkasan TKD.
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa bertemu 18 gubernur se-Indonesia membahas pemangkasan TKD.
Tapi bisa jadi yang terjadi sekarang sebaliknya. Presiden dan Bahlil kemungkinan bilang ke Rudy dan Seno agar memahami dan bisa menerima kebijakan Pemerintah Pusat yang tengah dijalankan. Jadi jangan menuntut macam-macam dulu. Dan pasti kedua orang itu patuh dan tidak bisa berkutik. walau suaranya di daerah kencang dan berteriak.
Kebijakan pemangkasan TKD berlaku terhadap semua daerah di Indonesia. Dalam RAPBN 2026, angka TKD dicantumkan Rp650 triliun. Itu turun 24,7 persen atau Rp269 triliun dibanding angka tahun sebelumnya (2025) yang tercatat Rp864 triliun. Belakangan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menyebut ada lagi tambahan Rp43 triliun.
Pemprov yang paling tinggi dipangkas TKD-nya adalah DKI Jakarta. Besaran angka pemangkasannya mencapai Rp79 triliun. Jatim beruntung hanya diturunkan Rp2,8 triliun atau sekitar 24,21 persen. Jawa Barat lebih kecil lagi hanya Rp2,4 triliun. Sumsel agak lebih tinggi yaitu Rp3,6 triliun. Sedang tetangga Kaltim, Kalsel dipangkas Rp2,2 triliun atau 48,36 persen.
Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) Selasa kemarin membawa 18 gubernur menemui Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa di Jakarta. Termasuk Gubernur Kaltim Rusy Mas’ud. Semuanya menyatakan tidak setuju dengan kebijakan pemangkasan TKD.
“Pak Menkeu merespon keluhan kita,” kata Ketua APPSI Al Haris, yang juga Gubernur Jambi. Menkeu berjanji akan melakukan evaluasi di tahun 2026 karena kebijakan ini sudah menjadi produk hukum, APBN.
Sementara itu Gubernur HARUM menyatakan optimis DBH untuk Kaltim akan naik lagi. Dia juga berjanji dalam situasi fiskal terbatas, semua program yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat tetap menjadi prioritas. “Kita akan melakukan yang terbaik untuk Kaltim. Begitu juga dengan pemerintah kabupaten dan kota,” tandasnya.
MAU JURUS APA?
Menyikapi pemangkasan TKD yang sangat drastis ini, berbagai daerah mengambil langkah dan jurus penyelamatan. Sebagian daerah panik karena kemampuan fiskalnya yang sangat berat dan selama ini sangat tergantung dari TKD.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman menilai pemangkasan dana TKD akan menjadi masa yang sangat sulit bagi Pemda karena keterbatasan ruang fiskal.
Herman mengusulkan agar tunjangan yang banyak diprotes oleh publik seperti tunjangan perumahan bagi wakil rakyat bisa dicoret atau dipangkas.
Pengamat lain mengusulkan agar dana perjalanan dinas pegawai dan anggota DPRD juga dipangkas habis-habisan. Sebab ini juga menguras APBD yang besar. Hampir tiap minggu ada pejabat dan anggota Dewan yang melakukan kunjungan kerja meski hasilnya tidak efektif dan terkesan pemborosan.
Gubernur Rudy Mas’ud didampingi mantan kepala Bapenda Kaltim Dra Ismiati Ismail ikut ngeluruk ke Menteri Keuangan.
Mantan juru bicara kampanye Rudy-Seno, Sudarno SE juga memberi masukan. Dia tampil santai sambil merokok di postingan Tik Tok. Lalu menyarankan agar Pemprov Kaltim melakukan pemangkasan terhadap Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) yang diterima ASN.
Menurut dia, pejabat golongan menengah ke atas seperti Sekda, Asisten, Kepala Dinas dan Kabid yaitu ASN yang berada eselon III dan II layak dirasionalisasi. Tapi golongan menengah ke bawah tetap dipertahankan.
Sambil mengutip teori ekonomi dia mengingatkan Pemprov. Seharusnya di saat ekonomi lesu, maka belanja pemerintah harus dinaikkan. Kalau terlalu menerapkan efisiensi total, maka ekonomi makin ambruk.
“Selamat kepada Gubernur dan Wagub yang menggunakan otak dan pikirannya supaya ekonomi Kaltim tetap bertumbuh,” katanya begitu sambil menyulut rokoknya.
Gubernur DKI Pramono Anung melakukan langkah refocusing, efisiensi dan realokasi anggaran. Dia juga melakukan pemangkasan terhadap perjalanan dinas, termasuk juga kegiatan yang berkaitan dengan makan dan minum.
Guru Besar dari Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Fisipol UGM, Prof Wahyudi Kumorotomo menilai kebijakan pemangkasan TKD sangat aneh dan berisiko besar terhadap keberlanjutan pembangunan daerah.
“Program MBG terjadi peningkatan hingga 5 kali lipat menjadi Rp335 triliun, tapi subsidi ke daerah yang bisa mendorong keberlanjutan pembangunan dan menciptakan lapangan kerja justru dikurangi sampai Rp269 triliun. Ini bisa menimbulkan konsekuensi politis, ekonomis, dan sosial,” katanya heran.(*)