Oleh : Dr. Isradi Zainal, Ketua PII Kaltim, Sekjen FDTI, Sekjen Forum Rektor PII
Tambang ilegal yang saat ini marak di Kaltim dan Indonesia memerlukan penanganan secara bersama sama dan sinergi dari berbagai pihak dalam upaya menghentikannya. Apalagi saat ini pemda kurang punya gigi dalam mengatasinya. Hal ini karena pemerintah daerah bukan lagi sebagai pihak yang memberi ijin, fapi diambil alih oemerintah pusat setelah munculnya undang undang yang mengatur pemberian ijin pertambangan.
Berdasarkan catatan dan informasi dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, untuk periode waktu 2018-2021, terdapat 151 titik pertambangan tanpa izin (PETI) diantaranya 107 titik di Kukar, 29 titik di Samarinda, 11 titik di Berau dan 4 di Penajam.
Maraknya tambang ilegal ini membuat sejumlah pihak melakukan protes diantaranya koalisi Dosen Unmul yang bersurat kepada Kapolri untuk menindak tegas pelaku tambang ilegal. Selain itu jauh sebelumnya warga masyarakat juga sudah sering melakukan tindakan langsung terhadap pelaku tambang ilegal baik dengan teguran secara baik baik, melapor kepada kepolisian setempat maupun dengan secara kasar dan anarkis.
Meski demikian pembukaan tambang ilegal terus berlangsung hingga saat ini. Diperlukan sinergitas dan keterlibatan banyak pihak dalam mengatasinya, baik oleh pemerintah, masyarakat, akademisi, perusahaan maupun media.
Pada dasarnya upaya mengatasi tambang ilegal ini bukanlah hal yang sulit jika pemerintah pusat yang dalam hal ini punya otoritas untuk memberikan ijin serius menindak pihak yang melakukan penambangan tanpa ijin.
Begitu juga kepolisian dan penegak hukum lainnya pastinya bisa menghentikannya jika komit dengan aturan dan ketentuan yang berlaku. Selain itu pemerintah daerah juga sebaiknya tidak lepas tangan terhadap kasus tersebut meskipun saat ini bukan pihak yang memberi ijin.
Terlepas dari berlarut larutnya penanganan dan penghentian tambang ilegal, mestinya pemerintah dan pihak penegak hukum menyadari urgensi dari penghentian tambang ilegal. Menurut Laode Ota mantan wakil ketua DPD RI & Ombudsman yang mengutip data dari kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK), menyatakan bahwa kerugian negara akibat penambangan batubara secara ilegal mencapai 40 trilian pertahun.
Nilai ini belum mencakup kerusakan lingkungan akibat pertambangan ilegal yang biasanya tidak melakukan penutupan lubang bekas tambang. Ulah penambang liar yang mengakibatkan lubang bekas tambang mengakibatkan kerugian negara karena akan menggunakan uang negara dalam menutup dan mereklamasinya. Belum lagi nyawa yang hilang di bekas galian tambang batu bara. Menurut catatan media, sejak 2011-2020, ada 37 anak yang meninggal karena tenggelam di bekas galian tambang.(Kaltim kece).
Dengan memperhatikam dampak yang ditimbulkan oleh tambang ilegal maka semestinya pemerintah dan penegak hukum segera mengambil tindakan tegas tanpa harus ada protes dari masyarakat. Untuk itu perlu dihidupkan kembali kerjasama lintas instansi dalam menyelamatkan sumber daya alam Indonesia. Bapak Presiden perlu memerintahkan kepada sejumlah pihak yang pernah menandatangani MoU dihadapan presiden untuk mengoptimalkan Gerakan Nasional.
Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia (GNPSDA) yang melibatkan TNI, Polri, Kejaksaan, 29 kementerian dan 12 Propinsi. Jangan biarkan oknum pengusaha dan oknum aparat mengambil keuntungan dari tambang ilegal. Begitu juga anggita DPD dan DPR RI asal Kaltim harus dioptimalkan untuk membantu kaltim dan kawasan IKN bebas dari tambang ilegal. (*)