Kaltimkita.com, SAMARINDA- Intoniswan, menerima Press Card Number One (PCNO) dalam Hari Pers Nasional (HPN) 2022 di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Sebelumnya, wartawan senior ini menjalani karier sebagai wartawan selama 32 tahun. Berawal sebagai wartawan di SKH ManuntunG di Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara pada September 1989. Kini media itu bernama SKH Kaltim Post.
“Saya tidak menyangka Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memberikan perhatian besar, sehingga dianugerahi Press Card Number One di Kendari, Sulawesi Tenggara,” bebernya.
Intoniswan mengaku tak bisa melupakan jasa-jasa para wartawan senior yang mendidiknya. Sebut saja Aan Reamur Gustam yang saat itu Redaktur Pelaksana di SKH ManuntunG. Ada juga nama Rizal Effendi sebagai Pemimpin Redaksi di surat kabar yang sama.
Meski pria ini sudah punya bakat menulis sejak duduk di bangku SMP, menurutnya, peran dua orang tersebut, sangat menentukan kariernya.
“Mereka berdua membimbing saya, bagaimana berpikir kritis, berpikir cepat, dan teliti dalam menentukan mana subjek dan mana objek dalam menulis suatu permasalahan,” bebernya.
Itu berlaku dalam pemberitaan bidang pemerintahan, pembangunan, hingga mencermati perkembangan sosial kemasyarakatan. Sebagai wartawan, Intoniswan harus beberapa kali dipindah dalam menjalankan pekerjaan. Mulai dari Tanjung Selor, Tarakan, Samarinda, Tenggarong, Balikpapan, dan kembali ke Samarinda.
“Tidak nyaman dipindah-pindah, tapi semua itu menjadi bekal sangat berarti dalam memahami persoalan pembangunan, pemerintahan, politik, dan sosial, budaya, serta problem kemasyarakatan,” urainya.
Menurutnya, jika wartawan sering berpindah-pindah daerah, termasuk berpindah-pindah pos liputan, bisa membuat wartawan semakin paham.
“Tidak ada persoalan sama yang dihadapi masyarakat. Begitu juga karakter, dan cara mengatasi masalah yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat,” sambungnya.
Wartawan, menurutnya adalah pekerja publik. “Wartawan itu pelayan masyarakat, menghubungkan kepentingan masyarakat dengan pemerintah. Tugas wartawan itu sederhana, memperjelas masasalah di tengah-tengah masyarakat,” katanya.
Dengan begitu, wartawan bisa membuat yang masih samar-samar menjadi terang benderang. Membuat sesuatu yang sebelumnya tidak jelas, menjadi jelas, agar mudah dipahami pembaca. Ditambahkan, tidak sempurna pengalaman wartawan apabila tidak pernah aktif di organisasi wartawan.
“Di PWI, saya bisa bertemu banyak wartawan senior. Banyak sekali hikmah bisa diambil dari para wartawan senior itu,” katanya.
Ia menyebut nama almarhum Fuad Arief. Dari nama itu, ia belajar bagaimana membentuk karakter berpikir tenang dalam melihat persoalan yang akan diberitakan.
“Dari almarhum Hiefni Effendi, saya belajar bagaimana bersikap tegas dan teguh,” ujarnya.
Sementara dari seorang Rizal Effendi, diajak berpikir luas apabila melihat ada suatu masalah yang akan diberitakan. “Wartawan harus berpikir cerdas dalam menentukan sumber masalah, sehingga bisa adil menentukan akar dan penyebab suatu masalah,” imbuhnya.
Wartawan juga tidak dibenarkan menimpakan tanggung jawab pada orang yang tak tahu menahu dengan masalah yang akan diberitakan.
Dari perjalanan karier para wartawan senior tersebut, Intoniswan meyakini, bekerja sebagai wartawan tidak bisa membuat orang jadi kaya dan makmur.
“Profesi wartawan itu sebetulnya tak lebih dari jalur hidup menggapai kebahagiaan. Saya sudah happy bila apa yang ditulis, kemudian menjadi bahan diskusi di masyarakat,” tuturnya.
Termasuk jika berita yang dibuat dijadikan bahan pertimbangan oleh pemerintah ketika membuat keputusan. Dijelaskan, media kini sudah berkembang sedemikian rupa.
“Ke depan, wajah media bisa muncul dalam bentuk tak terbayangkan. Wartawan harus bisa menyesuaikan diri. Yang perlu diingat, media juga punya tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa,” sambungnya.
Ia juga berharap wartawan bisa membuat masyarakat menjadi cerdas, serta bisa melihat persoalan dari banyak sisi. “Itu salah satu pekerjaan rumah para wartawan, termasuk kalangan wartawan muda di Kaltim,” tukasnya. (*/bie)