Tulis & Tekan Enter
images

Penampilan para seniman Kukar di panggung obyek wisata Obelix Sea View Yogyakarta. (Humas Pemkab)

"Jagaq Ngan Ngebueq Uma": Napas Tradisi Kutai Kartanegara Menggema di Tanah Yogyakarta

Kaltimkita.com, YOGYAKARTA – Saat senja mulai turun dan cahaya jingga menyapu langit Obelix Sea View Yogyakarta, panggung di salah satu destinasi wisata ternama itu tiba-tiba menjadi hidup. Bukan oleh dentuman musik modern, tetapi oleh alunan sape’ yang mendayu, tarian yang mistis, dan kisah yang dalam—kisah dari hutan, dari ladang, dari tanah yang jauh di Kalimantan Timur: Kutai Kartanegara.

Hari itu, Minggu (11/5), Tim Kesenian Kutai Kartanegara, yang dipimpin langsung oleh Zikri Umulda, Kabid Pengembangan Ekonomi Kreatif Disparda Kukar, tampil dalam gelaran TeTiba Jogja (Terbang Terampil Idaman Terbaik). Mereka membawa serta bukan hanya seni pertunjukan, tapi juga roh kebudayaan dari kampung halaman.

Mengusung tema “Cultural Heritage of Kutai Kartanegara”, para seniman menampilkan dua suguhan utama: musik khas Kutai oleh Yayasan Gubang Tenggarong, dan drama tari “Jagaq Ngan Ngebueq Uma”, yang berarti pembersihan ladang.

Drama tari ini adalah kolaborasi budaya yang kuat dan menggugah. Tiga suku Dayak — Kenyah, Benuaq, dan Modang — bersatu dalam satu panggung, menyatukan kisah, gerak, dan tradisi dalam satu napas panjang kebudayaan.

Cerita bermula dari pasangan suami istri keturunan bangsawan suku Dayak Kenyah: Jalung, si pemusik sape’ yang ulung, dan Awing, penari yang anggun. Mereka hidup sederhana dengan bertani di ladang warisan leluhur. Namun kedamaian itu terusik oleh pemuda dari kampung seberang yang memendam cinta terlarang. Ketika rayuan berubah jadi ancaman, cinta diuji oleh rasa takut dan keberanian.

Konflik memuncak saat Awing terserang penyakit kiriman, ladang mereka dilanda hama, dan Jalung harus mencari pertolongan. Bantuan pun datang dari suku Benuaq dan suku Modang. Mereka bersatu dalam ritual Belian dan menutupnya dengan tarian Hudoq — sebuah pertunjukan sakral yang dipercaya dapat mengusir roh jahat dan mendatangkan keberkahan.

Tarian itu bukan hanya penutup, tapi penegasan: bahwa dalam budaya Kutai, harmoni lahir dari kolaborasi, dari menjaga warisan, dari menghidupkan kembali apa yang mulai dilupakan.

Penampilan mereka tak hanya memukau ribuan penonton yang memadati area panggung, tetapi juga menyentuh emosi — membuktikan bahwa warisan leluhur bisa tetap relevan, indah, dan menyentuh, bahkan jauh dari tanah kelahirannya.

Acara yang juga disiarkan langsung di Instagram @visitingkutaikartanegara ini diakhiri dengan penyerahan cenderamata. Doni Ikhwani, Anggota DPRD Kukar dari Partai NasDem, menyerahkan simbol penghargaan kepada Muhammad Taufik, Manajer Operasional 1 Obelix Sea View Yogyakarta.

Di akhir malam itu, ketika cahaya lampu mulai padam dan musik sape’ perlahan menghilang, satu pesan tetap mengendap di benak semua yang hadir: budaya bukan untuk disimpan, tapi untuk dibagikan. Dan Kutai Kartanegara telah melakukannya dengan indah. (Ian)



Tinggalkan Komentar