Kaltimkita.com, JAKARTA - Semula sejak Liga1 Indonesia 2021 bergulir sampai pekan ke-6 dan Liga 2 kickoff sampai pekan keempat nyaris tak terdengar kerja Komdis PSSI. Padahal, banyak kasus yang terjadi.
Tapi, ketika publik mengkritisi Komdis PSSI yang "rebahan" karena Pandemic Covid-19 sejak Piala Menpora, Komdis terbangun dari tidurnya. Dan, langsung merapel kerjaaan layaknya pegawai honorer gajian. Sekali sidang Komdis langsung menghasilkan pendapatan hampir Rp 1 miliar (Rp 916 juta). Total terdapat 26 kasus yang diputuskan per 17 Oktober 2021.
Dari surat keputusan Komdis PSSI, total terdapat 12 kasus dari empat pelanggaran di Liga 1 yaitu kartu merah langsung (3 kasus), keterlambatan kick-off (5), lima kartu kuning atau lebih dalam satu laga (3), dan tamu VIP masuk ruang ganti (1).
Di Liga 2, total 14 kasus yang disidangkan. Rinciannya, perilaku mendiskreditkan keputusan PSSI (1 kasus), melanggar fair play (4), keterlambatan kick-off (7), dan lima kartu kuning atau lebih dalam satu laga (1).
Banyak putusan yang tidak masuk logika hukum. Kasus keterlambatan kick off misalnya memberikan setoran terbanyak hampir Rp 500 juta. PSM, PSS, Madura United menyetor masing-masung Rp 100 juta (dua kali terlambat).
Secara logika harusnya keterlambatan kick off menjadi tanggung jawab LIB sebagai penyelenggara kompetisi bubble to bubble karena tidak ada klub yang sejatinya mempekerjakan panpel sendiri layaknya di kompetisi normal.
Hukuman sanksi juga tidak masuk logika hukum di tengah pandemi. Pelatih Persijap Jaya Hartono dihukum 1 bulan. Untuk konteks Liga 2 sama artinya separuh musim. Striker Badak Lampung T.A Musyafry dihukum 6 laga dengan Liga 2 hanya 10 laga, ia sudah selesai berkompetisi. Begitu juga vonis Heri Setiawan selama 6 bulan, padahal Liga 2 hanya berlangsung 2 bulan.
Terlambatnya komdis bekerja juga berefek pada kasus tambahan kartu merah buat pemain Persebaya Bruno Moreira dan Israel Wamiau. Akhirnya, muncul pro-kontra hukuman sengaja dijatuhkan dadakan jelang Persabaya akan berhadapan dengan Persija. Inilah kalau kerja Komdis lamban! Ditambah lagi orientasi hukumannya adalah uang. Belum ada terobosan baru!
"Komfis bekerja layaknya debt cillector. Ini tidak sehat buat kompetisi sepakbola Indonesia," kata Akmal Marhali, Koordinator Save Our Soccer.
Ditambah lagi sanksi uang yang dijatuhkan penggunaannya juga tidak transparan. "Harusnya sanksi uang yang dijatuhkan digunakan untuk pembinaan terhadap pelanggar sanksi. Misalnya, edukasi rule of the games sampai untuk konsultasi ke psikiater untuk terhukum perilaku buruk," kata Akmal.
Intinya, Komdis belum berubah. Masih menggunakan parameter uang dalam menjatuhkan sanksi yang selama ini tidak efektif dan tidak berefek jera buat pelakunya. Perlu ada modifikasi misalnya hukuman kerja sosial buat Heri Setiawan. Tugasnya membina pemain-pemain SSB/akademi misalnya. Ini akan lebih bermanfaat dibandingkan uang.
Sanksi kerja sosial pernah diberikan kepada Eric Cantona saat perilaku buruk menendang kungfu penonton saat membela Manchester United. Jadi, pemain terhukum sanksi berat tidak menganggur. Namun mengabdi buat membina anak-anak. Lebih terlihat manfaatnya dibandingkan uang. Heri Setiawan misalnya yang dihukum 6 bulan, secara psikologi juga morilnya terangkat karena masih dipekerjakan membina pemain muda.
Tidak benar-benar hilang dari sepakbola. Ini bagus untuk intospeksi sekalian. Kalau denda uang gak ada efek psikologisnya karena yang bayar klub atau dipotong langsung dari subsidi. (*/bie)