Tulis & Tekan Enter
images

Lai durian dari Tanjung, Kalsel yang lagi banyak dijual di Kaltim.

Lai Durian dari Tanjung

Catatan Rizal Effendi

SAYA kaget beli durian di Jl MT Haryono Balikpapan, Senin (6/1) sore. Saya kira semuanya durian. Ternyata di antaranya ada jenis lai durian. Sepintas tak ada bedanya, karena kulitnya sama kehijau-hijauan. “Tapi itu lai durian,” kata Haji Arsyad, sang penjual meyakinkan saya.

Haji Arsyad sudah lama kenal saya. Sejak saya masih menjabat wali kota. Dia selalu memberi dukungan politik kepada saya. “Maju terus Pak Wali, saya siap mendukung,” katanya bersemangat setiap bertemu.

Beberapa hari ini ribuan durian lagi menyerbu Balikpapan. Bisa jadi juga kota lainnya di Kaltim termasuk Samarinda. Diangkut puluhan truk. Menurut Pak Haji Arsyad, durian itu datangnya dari Tanjung, Kalimantan Selatan (Kalsel). Tanjung selama ini memang dikenal sebagai lumbungnya buah-buahan, yang banyak menyuplai ke Kaltim.

Buah durian banyak ditanam warga Tanjung terutama di Desa Bintang Ara, Kecamatan Bintang Ara. Mulai durian biasa sampai hasil persilangan. Di antaranya durian murung king, silanjung, kamundai, mahrawin dan lainnya. Yang menjadi primadona adalah kamundai karena rasanya yang gurih dan legit.

Tanjung adalah ibu kota Kabupaten Tabalong. Terletak di tepi Sungai Tabalong dan berjarak 232 kilometer dari Banjarmasin. Tapi lebih dekat ke Kabupaten Paser, Kaltim. Jaraknya sekitar 136,9 kilometer. Ditempuh 3 jam 36 menit lewat jalan trans Kalimantan.

Haji Arsyad bersama saya dengan lai duriannya yang dijualnya di Jl MT Haryono Balikpapan.

Ingat Tanjung ingat Guru Jaro atau KH Anwar Sanusi, yang sering ceramah di Kaltim. Guru Jaro dari Tanjung. Di sana ada pondok pesantrennya bernama Pondok Pesantren Terpadu Nurul Musthofa. Sangat terkenal. Banyak pejabat, tokoh terkenal termasuk gubernur dan bupati yang datang ke pondok Guru Jaro.

Penyanyi dan penggubah lagu lejen yang kini berusia 87 tahun, Titiek Puspa juga kelahiran Tanjung. Nama aslinya dari kampung adalah Hj Sudarwati. Ayahnya Tugeno Puspowidjojo orang Jawa, tapi ibunya Siti Mariam sepertinya asli Banjar Tanjung.

Saya surprise dengan lai durian Tanjung yang dijual Haji Arsyad. Menurut saya, itu varietas baru. Hasil perkawinan silang buah lai dengan durian yang cukup sukses. Saya sudah lama tahu ada lai durian, tapi baru sekali ini saya melihat kulitnya tak jauh beda dengan durian biasa. Hanya bentuknya cenderung lonjong tidak bulat.

Dagingnya lumayan tebal. Warnanya lebih mirip buah lai, cenderung kuning. Rasa dan aromanya juga khas dan manis, maklum hasil perkawinan antara lai dan durian.

Buah lai asli disebut orang durian khas Kalimantan. Karena itu nama latinnya atau nama ilmiahnya adalah Durio Kutejensis. Memberi indikasi berasal dari Kutai. Ada yang menyebut buah lai adalah durian kuning, karena kulit dan dagingnya berwarna kuning. Ada juga yang menyebut Pampakin atau Pampaken.

Dari hasil penelitian, buah lai memberi manfaat untuk kesehatan. Mulai atasi insomnia, lancarkan pencernaan, menjaga kesehatan kulit hingga membantu mencegah kanker. Buah lai tergolong dalam buah yang rendah alkohol dan tidak mengandung kolesterol.

Seorang pembeli durian memperlihatkan durian merah yang disebut tabelak.(Ist)

Ketika saya masih wali Kota Balikpapan, saya pernah menghadiahi Duta Besar India di Jakarta buah lai. Saya juga pernah menanam bibit lai dalam acara penanaman bersama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di Kampus Unair.

Senin kemarin, lai durian dijual Rp100 ribu per 3 buah. Sebelumnya Rp50 ribu per buah. Sama dengan harga durian biasa. Karena buahnya tidak terlalu besar sehingga harganya tidak terlalu mahal.

Saya teringat ada penggalan pantun terkait lai durian. Bunyinya begini: “Lai durian, siapa lalai kedudian.” Kedudian itu bahasa Banjar. Artinya terlambat atau tertinggal.

ANEKA DURIAN HUTAN

Ketika makan malam bersama Pj Gubernur Kaltim Akmal Malik sebelum acara Wartawan Legend Bedapatan 3, akhir tahun 2024 lalu, saya dan Syafril Teha Noer (STN) sempat berdiskusi tentang buah langka di Kalimantan, khususnya Kaltim.

Saya angkat jempol untuk Bung STN, wartawan yang juga seniman. Lantaran di rumahnya ada dua pohon kuini atau kuweni (Mangifera odorata) yang sudah besar dan berbuah. Itu mangga asli Kalimantan. Sekarang cenderung punah karena kalah dengan kemanisan dan kepopuleran mangga, yang sekarang ini merajai pasar buah. Apalagi hampir di setiap rumah orang menanam mangga.

Pohon kuini berbuah banyak. Saya beberapa kali dikirimi Bung STN. Banyak yang tanya itu jenis buah apa. Ke mana-mana saya bawa dalam mobil. Sekalian jadi pengharum, meski cucu saya Dafin tidak terlalu suka.

Ketika bertemu Pj Gubernur, saya banyak bercerita tentang durian hutan Kalimantan, yang terancam punah. Maklum tak terdengar ada upaya budi daya yang intensif dari Balai Litbang Dinas Perkebunan atau Pertanian.

Durian daun atau karantungan, yang disebut orang Kutai, Kertongan.

Syukur buah lai sudah dikembangkan. Malah sudah ada jenis bibit unggul yang diperjualbelikan. Tapi jenis lainnya saya tidak pernah mendengar terutama karantungan dan lahung. Tapi saya lihat ada juga yang sudah jual bibitnya, meski tidak banyak yang berminat. Mungkin nilai ekonominya tidak sebagus durian biasa atau durian cangkokan.

Lahung dalam bahasa ilmiahnya disebut Durio dulcis. Rata-rata bentuknya bulat, tapi kulitnya cukup menarik karena berwarna merah maron dengan duri yang tajam. Daging buahnya berwarna kuning dan memiliki aroma sangat yang khas.

Ada yang bilang lahung sebagai buah khas suku Dayak. Namanya merangang. Soalnya pohon lahung banyak tumbuh di tengah hutan, di mana suku Dayak dulu banyak bermukim dan bercocok tanam atau berburu. Lahung tak bisa dibuka seperti durian. Jadi langsung dibelah dua. Sayang dagingnya agak tipis. Tapi ada yang bilang lahung paling manis di antara semua jenis durian.

Saya agak bingung. Dalam bahasa Banjar, lahung juga punya pengertian lain yang negatif. Lahung dimaknai sebagai profesi kurang baik yaitu semacam PSK. Coba berani mengatai perempuan lahung, kita bisa dikejar sampai ke lobang buaya.

Berbeda dengan lahung, sedang karantungan berwarna hijau seperti durian. Orang Kutai menyebutnya kertongan. Hanya durinya lebih panjang dan tidak terlalu tajam. Posturnya tidak terlalu besar. Warna dagingnya putih kekuningan, tapi rasanya tidak terlalu manis. Karantungan atau durian daun ini bahasa ilmiahnya disebut Durio oxleyanus.

Mirip karantungan tapi lebih kecil lagi yaitu Terotong alias Kelawit. Ada juga yang menyebutnya Kuroyiat. Disebut durian mini karena size-nya yang memang kecil. Warna kulitnya juga hijau. Tidak bergas seperti kita makan durian biasa, terutama saat bersendawa.

Satu lagi durian hutan yang hampir punah sama sekali yaitu Tabelak (Durio graveolens). Durinya panjang seperti karantungan. Tapi warnanya macam-macam. Ada yang hijau, kuning, cokelat atau merah. Namun yang unik, buahnya tetap sama berwarna merah.

Tabelak disebut durian merah karena dagingnya yang berwarna merah. Tekstur dagingnya halus, lembut, manis, tapi kering. Baunya tidak terlalu tajam. Karena itu orang Kalimantan menyebut durian merah ini adalah tabelak atau sukang.

Pohon durian alam termasuk lahung, karantungan dan tabelak umumnya tinggi antara 25 sampai 40 meter. Beda dengan pohon lai relatif rendah dengan cabang melebar ke samping. Mirip pohon manggis. Saya sama sekali tidak berani dan tidak bisa menaiki pohon durian alam. Paling banter menunggu buahnya jatuh.

Dinas Pertanian Kutai Kartanegara (Kukar) pernah merilis, sedikitnya ada 18 atau 19 jenis durian tumbuh di hutan Kaltim. “Semuanya masih bisa ditemukan di hutan-hutan,” kata Agus, yang bertugas di Balai Penyuluhan Pertanian Loa Janan, Kukar seperti diberitakan Liputan 6 beberapa waktu lalu.

Sepulang dari Labuan Bajo, perut saya agak nggak beres. Rasanya mules dan badan meriang. “Itu kebanyakan makan durian,” kata Dr Meiliana, mantan Pj Sekdaprov Kaltim menggoda saya lewat WA. Rupanya dia membaca tulisan saya, yang sempat melahap 2 buah durian sebelum bertualang ke Pulau Komodo.(*)

 


TAG

Tinggalkan Komentar