Oleh : Dyan Indriwati Thamrin, S. Pd.
Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
Pandemi Covid-19 berdampak ke banyak hal. Ekonomi Kaltim triwulan II minus 6,53 persen. Hal itu sejalan dengan jumlah warga miskin di provinsi ini meningkat. Bila pada September 2019 sebanyak 220,91 ribu orang, per Maret 2020 menjadi 230,26 ribu orang.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim itu menunjukkan, angka kemiskinan tahun ini meningkatkan sekitar 9.350 ribu jiwa. Secara populasi di Benua Etam, ada sekitar 6,10 persen penduduk miskin.
Di sisi lain, Pemprov Kaltim telah menyalurkan bantuan sosial kepada 41.549 orang. Angka tersebut belum termasuk warga yang mendapat bantuan dari pemerintah kabupaten/kota masing-masing. Diperkirakan hampir seratus ribu masyarakat terdampak pandemi ini. Pemerintah berupaya memulihkan ekonomi.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kaltim Andi M Ishak mengatakan, hingga kemarin (8/8), kasus aktif Covid-19 di Kaltim sebanyak 622 pasien. Sementara akumulasi kasus terkonfirmasi positif sejak 18 Maret 2020 ada 1.834 kasus. Konsentrasi Covid-19 berada di dua kota besar. “Yaitu Balikpapan dan Samarinda. Balikpapan terdapat 694 kasus pasien positif dan Samarinda 375 kasus,” jelas Andi.
Terbanyak ketiga adalah Kutai Kartanegara dengan 280 kasus positif. Kondisi itu membuat warga harus benar-benar menaati protokol kesehatan. Apalagi, tak sedikit kasus positif tidak menunjukkan gejala.
Walaupun kasus positif terus naik, masyarakat memang tidak bisa lagi hanya berdiam di rumah. Khususnya mereka yang melakukan pekerjaan harian, mereka tetap harus bekerja.
Persoalan kemiskinan tidak hanya terjadi di daerah Kaltim, namun rata melanda di seluruh wilayah di negeri ini. Tahun-tahun telah berlalu, tetapi masalah kemiskinan tak kunjung usai. Jika sebelum pandemi saja kemiskinan sudah tak mampu dituntaskan, apalagi saat terjadi pandemi.
Dalam pandangan Islam, kemiskinan (al-miskin) atau kefakiran (al-faqr) indikasinya sama, jika kebutuhan dasar setiap individu per individu di dalam masyarakat (sandang, pangan dan papan) tidak terpenuhi; termasuk kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan keamanan yang merupakan tanggung jawab negara secara langsung. Kemiskinan (al-faqr), menurut bahasa, adalah ihtiyaj (membutuhkan). Faqir menurut pengertian syariah adalah orang yang membutuhkan dan keadaannya lemah, yang tidak bisa dimintai apa-apa. Faqir adalah orang yang tertimpa kesengsaraan atau kemelaratan, orang yang menjadi lemah oleh kesengsaraan.
Islam memandang masalah kemiskinan ini dengan standar yang sama, di negara mana pun dan kapan pun. Karena itu, menurut pandangan Islam, kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan primer secara menyeluruh. Kebutuhan primer tersebut yaitu pangan, sandang dan papan. Allah SWT berfirman : “Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS. Al-Baqarah [2] : 233). Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Abi Ahwash yang menyatakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan.” (HR. Ibn Majah).
Ini menunjukkan bahwa kebutuhan primer – ketika tidak terpenuhi dianggap miskin – adalah pangan, sandang dan papan. Islam telah menjadikan terpenuhinya kebutuhan primer serta mengusahakannya untuk orang yang tidak mampu memperolehnya adalah wajib. Jika kebutuhan primer tersebut bisa dipenuhi sendiri oleh seseorang, maka pemenuhan tersebut menjadi kewajibannya. Namun, jika orang tersebut tidak bisa memenuhinya sendiri, karena tidak mempunyai harta yang cukup, atau adanya keterbatasan-keterbatasan tertentu yang ada dalam dirinya, maka syariah telah menjadikan orang tersebut wajib ditolong, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan primernya.
Sememangnya kemiskinan adalah produk dari sistem politik ekonomi yang eksploitatif, bukan takdir Tuhan. Ekonomi Islam memandang bahwa kemiskinan adalah masalah struktural karena setiap makhluk telah dijamin rezekinya. Islam telah memberikan solusi dengan mewajibkan kepada keluarga untuk mencari nafkah.
Kemudian dalam hal kemiskinan yang diakibatkan oleh tidak dapat teraksesnya kebutuhan bukanlah karena adanya kelangkaan barang tersebut. Namun hal tersebut diakibatkan oleh distribusi kekayaan negara yang terjadi secara tidak tepat, sehingga terjadi ketidakmerataan akan terpenuhinya kebutuhan masyarakat.
Untuk menyokong negara dalam membiayai kebutuhan pokok rakyatnya, Islam telah menentukan diambil dari harta baitul maal, yaitu pos keuangan yang bersumber dari fai’, kharaj, dan harta kepemilikan umum. Kepemilikan umum dalam Islam meliputi kekayaan alam yang sifatnya tidak dimiliki oleh perorangan karena jumlahnya yang tidak terbatas atau diumpamakan seperti air yang mengalir.
Adanya pos-pos khusus untuk pemasukan negara termasuk hasil pengelolaan kekayaan alam yang berlimpah ruah sebagaimana Islam mengaturnya menjadikan negara punya cukup dana untuk menanggung kebutuhan pokok rakyat. Bahkan bukan hanya itu, pos kepemilikan umum sangat cukup untuk membiayai kebutuhan dasar lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Apabila dalam kondisi mendesak kas negara mengalami kekosongan atau baitul mal kosong, maka negara berhak menarik pajak yang hanya diberlakukan bagi para kalangan Muslim yang mampu saja. Selain hanya berlaku bagi kaum kaya, jangka waktunya pun sementara saja, sampai terpenuhinya kebutuhan pendanaan negara, yang jika sudah tercapai maka penarikan pajak pun dihentikan. Bandingkan dengan pajak dalam sistem sekarang, justru dijadikan tumpuan sumber pendapatan negara, ditarik terus-menerus, berlaku bagi semua lapisan masyarakat, Muslim maupun non-Muslim.
Islam juga membolehkan untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan tersebut, negara berhutang kepada orang kaya seiring menunggu selesainya penarikan pajak kepada kaum muslimin. Demikian disampaikan Al-Alamah Taqiyuddin An-Nabhani dalam Kitab Nidzomul Iqtishody fil Islam pada Bab Baitul Maal.
Islam telah menetapkan, pemenuhan kebutuhan pokok warga, adalah tanggung jawab penuh negara. Negara harus memastikan telah terpenuhinya kebutuhan pokok tiap warganya kepada seluruh lapisan masyarakat, baik orang kaya maupun orang miskin, Muslim dan non-Muslim. Disinilah letak keadilan Islam.
Demikianlah kesempurnaan pengaturan Islam ketika diterapkan dalam bingkai negara. Pemenuhan kebutuhan pokok warga ditanggung sepenuhnya oleh negara karena merupakan ketetapan syara. Apalagi Rasulullah SAW bersabda : “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus" (HR. Al-Bukhari). Bagaimana menurut Anda? Wallahu'alam. (*)