Kaltimkita.com, Balikpapan – Pilkada Kota Balikpapan Tahun 2020 yang menghadirkan kontestasi antara pasangan calon dengan kotak kosong tak luput dari perhatian Pemuda Demokrat Indonesia Cabang Balikpapan.
Sekretaris Pemuda Demokrat Indonesia Cabang Balikpapan Chintya June Ansari menganggap hal ini sebagai kondisi yang “tidak biasa”.
Calon tunggal dalam proses Pilkada Kota Balikpapan tahun ini menunjukan gejala apabila suara partai politik hari ini belum merepresentasikan suara rakyat. Atau hanya mampu memenuhi keinginan sebagian orang saja.
“Relevansi inilah yang menjadi sorotan kawan-kawan Pemuda Demokrat Indonesia menanggapi Pilkada tahun ini dilihat dari berbagai aspek atau sudut pandang”, jelas Chintya.
Dari segi pendidikan politik, munculnya calon tunggal mempertegas kegagalan Partai Politik dalam melahirkan figur pemimpin yang kompetitif dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Mestinya, partai politik tidak mementingkan kepentingan yang tidak berasal dari rakyat.
“Pasalnya, hampir semua partai politik merapat kepada pasangan calon tunggal. Ini merupakan tanda tanya besar”, katanya lagi.
Kemudian yang menjadi sorotan Pemuda Demokrat Indonesia Balikpapan juga adalah sistem pengusungan bakal calon yang menyaratkan ambang batas 20 persen suara di parlemen.
Ketentuan ini kata Chintya, ternyata hanya menguntungkan Partai Politik yang memiliki kursi terbanyak. Sedangkan Parpol dengan suara kecil, namun memiliki figur berkualitas, justru tidak dapat mengusung bakal calon.
Meski hanya menghadirkan calon tunggal, bukan berarti pilihan untuk memilih kotak kosong menjadi tidak sah. Hal ini justru telah diatur pada Pasal 54C ayat (2) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Dengan demikian, konstitusi mengakomodir masyarakat yang memilih kotak kosong.
“Akan menjadi sangat kurang elok jika hal-hal demikian dijadikan ajang memutus rantai kompetisi. Apalagi dengan seolah-olah calon tunggal sebagai jalan pintas yang digunakan untuk meraih kemenangan”, lugasnya.
Chintya menambahkan, momentum ini penting karena rakyat langsung dapat menyalurkan hak politiknya tanpa harus ada monopoli, seakan-akan dukungan partai adalah aspirasi dari rakyat seutuhnya.
“Rakyat harus berdaulat untuk memilih pemimpinnya. rakyat harus berdaulat dalam menentukan hak politiknya dan rakyat harus berdaulat dalam aspirasi politiknya”, tukasnya. (tim)