Tulis & Tekan Enter
images

Ilustrasi foto : Alfiansyah

Utopisme Rakyat Korupsi

Oleh : Alfiansyah

Hari sudah malam. Malamnya malam, tetap saja Warung Kopi Pak Ongki  disinggahi oleh rakyat jelata yang sekedar ngopi, rokokan, sekaligus kongko-kongko apa saja. Yang penting ngomong, ngopi, dan rokokan


Televisi milik Pak Ongki dibiarkan menyala. Pasti, kalau jam segini, para rakyat jelata yang banyak kongko itu menonton  berita. Dan kali ini, hampir seluruh stasiun swasta menyiarkan mengenai pelaku korupsi di Indonesia. Walau pun kemarin atau besok ada berita yang tak manusiawi, contoh : bapak perkosa 4 anak kandungnya, anak tega membakar kedua orangtuanya, atau berita yang tak manusiawi lainnya,  pasti ada saja berita selingan si doi, entah di pusat atau di daerah terpencil sekalipun, ketahuan korupsi. 

Seperti biasa, warungnya Pak Ongki selalu dihadiri oleh tukang ojek
online si Badrun, buruh bangunan Pak Komar, perumus judi togel Amat, pengangguran, dan buruh yang datang silih berganti, pasti muak mendengar kalau ada korupsi. Mereka memaki-maki dengan kata-kata kotor, bahkan menyumpahi---semoga doa rakyat jelata terkabulkan. 

"Itu lagi orangnya," kata Amat, sok tahu tentang permasalahan apa yang dibahas di televisi. 

"Iya, itu lagi," jawab Pak Komar.

"Kemarin pas pertama korupsi di penjara berapa tahun?" tanya Amat.

"Tadi itu dibahas, pertama  5 tahun, lalu dipotong remisi jadi berapa tahun gitu. Ini ketahuan lagi deh," ujar Parmin, yang tak menoleh ke arah televisi, dan sibuk menulis sesuatu di buku catatannya. Ia diam-diam mendengarkan pembicaraan.

"Enak ya, nanti kalau gitu, mending anakku yang kusekolahkan itu korupsi juga. Biar bisa kaya-in bapaknya yang kerjanya tak jelas ini," ujar Pak Komar. Setelah itu ia mengeluh karena mandor sampai satu bulan belum menggajinya. Maklum, anggaran proyek pemerintah lagi defisit.  

"Benar," kata Parmin. 

Semua pun mengangguk. 

"Betul itu. Korupsi hanya berapa tahun saja di penjara. Mending kaya-in diri sendiri. Korupsi banyak-banyak itu duit negara, kita simpan untuk anak-cucu. Kalau seperti itu, tak pusing lagi mikir duit. Angkat-angkat kaki saja di rumah. Tak perlu lagi keringatan siang, pegang sekop aduk semen, atau
nyangkul bikin parit. Paling-paling keringatannya pas malam. Pas ngajar mamanya anak-anak. Kalau ngajar mamanya anak-anak itu kalah-kalah kerja tukang bangunan. Sangking berkeringatnya, sampai lepas semua pakaian,” lugas Pak Komar, sambil tertawa. 

Semua tertawa, menertawakan dirinya sendiri. Di saat semuanya tertawa, Parmin hanya diam. Ia terlihat serius, sibuk menulis sebuah tulisan di buku catatannya. Ia menulis sebuah esai yang ditugaskan oleh dosennya. Dosen menugaskan ke mahasiswa untuk membuat esai terkait hukum apa yang tepat bagi para pelaku korupsi. Semua mahasiswa fakultas hukum di kelasnya bebas menulis, tanpa terikat pasal dan lain sebagainya. Kata si dosen yang budiman itu, tulislah sesuai kata hati, tak usah terlalu terikat dengan undang-undang dan pasal-pasal yang menumpuk itu. Intinya, ikuti kata hati.

Parmin pun menulis. Intinya, orang yang melakukan tindak korupsi adalah orang yang berkhianat kenapa negara, menambah utang negara, memiskan rakyat, dan tak ada ampun baginya karena merebut harta kaum miskin yang sudah dimiskinkan. Baik secara ekonomi maupun moral.

Jadi, apa ada hukuman yang berat bagi tindak pidana korupsi? Atau, cara ampuh untuk membungkam segala macam bentuk dalih-dalih para koruptor agar hukumannya bisa setimpal? Apakah ada racun yang pas untuk mematikan "tikus-tikus berdasi" itu?

Jangan heran jika warga negara Indonesia, yang sudah tinggal dan hidup sepenuhnya di Indonesia,  dengan hidup apa adanya di tengah perekonomian yang selalu menipis--tapi bisa hidup membiayai anak dan istri---dan gaji yang begitu-begitu saja, atau diantara tangisan rakyat jelata, selalu saja merasa pesimis terhadap hukum para pelaku korupsi yang ada di Indonesia. Seorang anak putus sekolah dan tak ada pekerjaan tetap digebuki warga karena ketahuan maling sandal, nenek di penjara karena mencuri semangka, serta seorang tukang becak sekarat karena di hakimi warga plus dipenjara 7 tahun karena ketahuan mencuri tabung gas 3 kg untuk membiayai 5 anaknya. 

Apakah hukuman mereka sebanding dengan realita yang terjadi di negara ini? Lagi-lagi, jangan heran rakyat jelata itu sangat pesimis. Bagi mereka, korupsi hanya sebatas lelucon yang menjengkelkan. Jika melihat ada yang melakukan korupsi, pasti
ending-nya sudah tahu. 

"Oh, bagaimana. Ketahuan, kan. Paling-paling hukumannya tak sampai 5 tahun. Padahal korupsinya ratusan milyar lebih, bahkan jika dihitung-hitung, sampai triliunan. Paling-paling dapat remisi juga di penjara."

Atau : "Kalau yang begituan kita sudah tahu. Yang miliaran yang diambil, tak sebanding dengan hukumannya. Mending urus perut masing-masing daripada mikir yang tidak jelas."

Apakah rakyat jelata berhak untuk menghakimi para pelaku korupsi? Atau, selama ini kita memang lebih suka menjadi penonton tanpa bertindak? Sebenarnya ingin bertindak, tapi apa juga yang mesti dilakukan? Bisa bertindak, tapi apa yang mesti dituntut? Apa yang mesti dituntut, sementara harga untuk membeli sandang, pangan dan papan semakin naik, sehingga tak mau lagi mengurus para pelaku korupsi? Mengurus perut masing-masing lebih penting dibanding mengurus negara. 

Apa hukumannya bagi para pelaku korupsi?  Beranikah menghakimi para pelaku korupsi?

Eh, jangan hakim sendiri,
dong. Ini negara hukum, Bung. Jangan melakukan hukum rimba, ini zaman  tidak primitif lagi. Semua ada hukumannya di dalam pasal. 

Dan sekali lagi, saya ingin bertanya, jika rakyat bertindak, apa yang dilakukan? Demo? Apakah itu solusi yang tepat?  Ada yang bisa menjawab?

Ide Parmin untuk menulis macet.Semua berakhir ditanda tanya. Ia minum kopi hitam yang mulai tadi sudah dingin. Mau merokok, tapi tak ada rokok. Ia sempat disodorkan rokok oleh bapak-bapak yang ada di warung, termasuk Pak Komar .Tapi ini masih tanggal tua. Mau ngutang ke pemilik warung Pak Ongki, tapi bon-bon buruh lainnya masih menumpuk di buku bonnya. Jadi, ia pura-pura saja tak ingin merokok. 

Tiba-tiba saja televisi menyiarkan debat-debat orang-orang pintar, memperdebatkan masalah ideologi. Parmin pun berhenti menulis dan fokus memandang ke layar televisi. 

"Ini lagi di televisi lagi ramai tentang ideologi. Apa sih itu kiri. Apa sih itu kanan. Sudahlah, Pancasila saja. Tak ada yang lain. Sudah semua di korupsi, ini ada lagi yang aneh-aneh," keluh Amat. Ia memang merumus togel, tapi ia juga menanggalkan tulisanya dan fokus memperhatikan televisi. "Ini lagi, ada debat-debat terkait tahanan eks tapol lah. Diasingkan di pulau lah. Apa itu artinya. Parmin, kamu kan mahasiswa, tolong dijelaskan apa itu eks tapol?" tambahnya. 

"Mantan tahan politik," balas Parmin. 

"Berati orang pintar dong?"

"Maksudnya?"

"Itu, dia terlibat politik."

Parmin masih mikir. Berdasarkan buku yang pernah dibacanya, memang, kebanyakan yang diasingkan di Pulau Buru, Boven Digoel, Banda Neira, atau pulau di Indonesia Timur lainnya, dari zaman pasca kemerdekaan dan pemberontakan terhadap negara, adalah orang-orang cerdas yang diasingkan. Semua itu satu, untuk membuat jerah mereka. Mau Parmin menjelaskan semuanya, mulai dari siapa saja nama-nama yang diasingkan, ideologi kiri, eks tapol dan lain sebagainya, nanti jika salah nyebut, tahu-tahu orang-orang ini bisa salah kaprah, langsung menghakimi orang tidak ada agamanya, sekaligus apakah mereka mengerti jika dijelaskan semacam itu? Daripada pusing, mending dijawab asal saja. 

"Iya, orang cerdas. Seperti orang korupsi, kan berpolitik," lugas Parmin, tanpa mau di ganggu lagi.

Kalau terlalu panjang, mereka pasti ingin minta lebih jelas lagi. Disuruh baca buku atau baca koran, malasnya minta ampun. Lebih baik kerja daripada membaca. 

"Aku tahu apa yang dimaksud di televisi ini. Kiri itu dilarang di Indonesia. Dulu, ada juga tetanggaku. Orangtuanya 'dilempar' di pulau. Pulau Buru namanya. Dan temanku itu, sampai sekarang KTP-nya ada label eks tapol," kata salah satu orang tua yang telah berumur. Kebetulan, ia dari Jawa, tinggal di Balikpapan untuk menjadi buruh bangunan di sebuah proyek pembangunan mal.   

"Tapi dia itu korupsi kah, Pak?" tanya Komar. 

Parmin memandang ke orang tua itu. Sebelum Parmin ingin bertanya, Komar melanjutkan. 

"Bagusnya, orang korupsi itu diperlakukan seperti itu. Musuh kita sekarang kan kita-kita juga. . . “

“Eh, berarti kita semua ini musuhmu?”

“Oh, maaf, maksudnya bukan kita-kita yang ada di sini. Maksud saya yang di televisi, lho," ia menunjuk televisi. "Yang senyum-senyum dan dadah-dadah setelah hakim memutuskan hukumannya hanya berapa tahun saja, tapi kantongi duit milyaran. Milyaran! Bukan main. Itu harusnya diasingkan dan keluarganya diberi tanda KTP eks tahanan korupsi."

Semua mengangguk. Parmin mendapatkan jawaban yang pas. Tapi, jawabannya itu, akan selalu muncul pertanyaan lagi, apakah  orang-orang pintar itu berani membuat undang-undang terkait pelaku korupsi, harus di hukum dan diasingkan di Pulau Buru, sekaligus di KTP anak cucunya diberi label eks tahanan korupsi? Beranikah!

"Ah, ngomong politik terus. Ya, korupsi kah, ideologi kah.  Sudah, mending pindahkan saja di tayangan sepak bola. Tuh, lihat. Liverpool kalah," jelas Pak Ongki, memindahkan siaran televisi ke saluran sepak bola. 

Parmin lagi-lagi melamun. Setelah tulisannya sudah hampir kelar, di paragraf paling bawah itu ia menambahkan satu kata : utopis. 

"Bung, jangan skeptis begitu. Kita Kita ini Indonesia, jadi semua pasti akan ada indah pada waktunya," kata orang tua itu, yang tiba-tiba menghampiri Parmin. "Masih ada banyak cara bisa menjadi benar," sambung orang tua itu. 

“Bagaimana uang korona bulan ini, Pak Komar, sudah cair kah?” tanya Pak Ongki.

“Itu dia, dengar-dengar bulan ini masih dibahas. Belum ada info dari Pak RT. Uangnya saja dikorupsi sama yang di teve tadi itu.”

Februari 2021.

 Alfiansyah, lahir dan besar di Balikpapan.


TAG

Tinggalkan Komentar