Oleh: Agus Pambagio (Pemerhati kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)
Kaltimkita.com, Jakarta - Menurut United Nation World Tourist Organization (UNWTO) November 2023, situasi pariwisata internasional sampai dengan September 2023 tercatat ada 975 juta wisatawan mancanegara (wisman) yang berkeliaran di seluruh dunia dan ini sudah mendekati keadaan sebelum pandemi. Dibanding dengan periode yang sama pada 2022 sudah meningkat 38 persen, sehingga penerimaan dari wisman di dunia diperkirakan mencapai USD 1.4 triliun hanya sedikit di bawah penerimaan pada 2019 sebesar USD 1.5 triliun. Dari keseluruhan peningkatan wisman, hanya kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia yang belum terlihat pulih dibanding dengan kondisi sebelum pandemi. Mengapa demikian?
Beberapa negara di kawasan Asia Pasifik telah melakukan berbagai langkah terobosan untuk meningkatkan wismannya, antara lain China yang merupakan negara tujuan wisman tertinggi di Asia Pasifik. China memberlakukan bebas visa untuk beberapa negara tertentu (Malaysia dan beberapa negara Eropa), hasilnya terjadi peningkatan besar wisman yang datang dari negara-negara tersebut. Thailand negara kedua dengan wisman terbesar di Asia Pasifik, juga membebaskan visa untuk negara-negara tertentu, seperti wisman dari China, India, dan Taiwan walaupun hanya untuk sementara waktu. Targetnya memang kunjungan wisman dari China ke seantero dunia.
Pembebasan ataupun kemudahan Bebas Visa Kunjungan (BVK) memang bukan satu-satunya kunci peningkatan wisman. Menanggapi keinginan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) yang berencana memberikan BVK kepada 20 Negara untuk mendapatkan wisman berkualitas perlu kajian lanjut. Lalu apa yang dimaksud dengan wisman berkualitas? Beberapa referensi menunjukkan bahwa kunci keberhasilan dalam mendatangkan wisman tidak hanya melalui kemudahan memperoleh visa (tidak selalu harus BVK). Lalu apa ?
Untuk fasilitas bebas visa, sebenarnya terdapat berbagai cara dengan target mempermudah dan menarik kunjungan, antara lain bebas visa (BVK), Visa On Arrival (VOA), memperpanjang waktu tinggal baik untuk wisman maupun untuk pengusaha/investor seperti di Jepang (di Indonesia Namanya Golden Visa), dan juga e-visa seperti yang dilakukan Taiwan. Perlu diperhatikan bahwa kemudahan BVK harus dibarengi dengan peningkatan kunci keberhasilan lainnya dan resiprokalitas.
Peningkatan kunjungan wisman untuk datang ke Indonesia tidak hanya bergantung pada kebijakan BVK dan sejenisnya, tetapi juga bergantung pada beberapa hal, seperti destinasi wisata yang menarik, interkoneksi transportasi yang nyaman dan aman, keberlanjutan investasi terkait kepariwisataan (digitalisasi, aksesibilitas, wisata medis, wisata religious, kapal pesiar) serta event-event internasional besar kenegaraan terkait dengan olah raga, pergelaran musik, konferensi dan sebagainya.
Dari catatan Direktorat Jenderal Imigrasi (DJI), kunjungan wisman sampai dengan November 2023 sudah mencapai 9.6 juta orang atau 113 persen dari target pemerintah. Pada November 2023 terpantau dari empat bandara internasional, kunjungan wisman lebih tinggi dibanding November 2019 (sebelum pandemi), namun demikian memang November 2019 merupakan bulan yang terendah kunjungan wismannya. Secara keseluruhan kunjungan wisman 2023 memang masih lebih rendah dibanding 2019.
Catatan menarik DJI lainnya, ternyata VOA dimanfaatkan terbanyak oleh wisman dari Australia, diikuti dari Tiongkok dan negara-negara lainnya. Pada 2023 penggunaan fasilitas VOA melonjak 14 kali lipat dibanding 2019 yang masih memberikan BVK. Jadi jelas bahwa pemberian BVK bagi wisman asal Tiongkok dan Australia tidak diperlukan. Tanpa harus kehilangan PNBP wisman tetap melimpah. Sementara wisman dari negara lainnya bervariasi, ada yang menurun dan ada yang meningkat. Hal yang sama terjadi pada investasi asing karena banyaknya parameter peningkatan ataupun penurunan kunjungan untuk investasi bukan hanya karena fasilitas visa.
Hal yang sama juga terjadi pada investasi asing, parameter peningkatan ataupun penurunan kunjungan terkait investasi tidak ada kaitan langsung dengan fasilitas visa. Berdasarkan hasil penelitian LPEM FEB UI dinyatakan bahwa tidak ada korelasi langsung antara BVK dengan laju Gross Domestic Bruto (GDB). Artinya dampak BVK terhadap kunjungan wisatawan tidak signifikan. Kunjungan wisman lebih sensitif pada harga tiket pesawat terbang. Selain itu telah pula disadari bahwa BVK akan berdampak pada gangguan keamanan (munculnya kampung Rusia di Baliu, peningkatan radikalisme, terorisme, scammer).
Lima negara asal wisman tertinggi ke Indonesia adalah Malaysia, Australia, Singapura, Tiongkok, dan Timor Leste . Kelimanya memang naik jika dibandingkannya dengan 2022, namun tidak dibandingkan dengan sebelum pandemi 2019. BVK yang sebelumnya diberikan ke 169 negara (termasuk 10 negara ASEAN) belum dicabut hanya dibekukan pada 2023 oleh Kemenkumham. Dibanding dengan negara ASEAN, Indonesia paling sedikit memberikan fasilitas BVK (termasuk untuk 10 negara ASEAN), namun memberi banyak fasilitas VOA ke banyak negara. Sedangkan negara seperti Vietnam memberikan BVK ke beberapa negara tertentu (seperti bekas penjajah, investor terbesar, Australia) dan sisanya dengan VOA.
Kemenparekraf mengacu pada World Travel Council (WTC) menyatakan bahwa BVK akan meningkatkan 16.6 persen kenaikan Wisman (in general) berkualitas, selanjutnya dihitung dampak kenaikan Wisman pada pertumbuhan ekonomi berbagai sektor, juga membandingkan kebijakan BVK dengan negara lainnya. Pada akhirnya Kemenparekraf menyimpulkan bahwa wisman yang terus meningkat perlu didukung dengan perluasan fasilitas visa secara gradual dengan mempertimbangkan manfaat dan keamanan. Kemenparekraf mengusulkan agar diberikan peningkatan BVK pada beberapa negara (20 negara yang dijadikan pilot project) dengan mempertimbangkan asas manfaat dan keamanan negara.
Saya berpendapat bahwa data Kemenparekraf perlu diuji dan dievaluasi karena peningkatan wisman yang disebabkan oleh kebijakan visa, menurut WTC secara umum belum tentu menggambarkan kondisi di Indonesia. Hal ini juga didukung data dari DJI dan LPEM FEB UI, yang tidak menunjukkan adanya korelasi antara fasilitas visa dengan kunjungan Wisman. Berhubung asumsi yang berdasarkan data WFO tersebut diragukan, maka diragukan pula perhitungan turunannya tentang peningkatan ekonomi karena fasilitas BVK.
Data DJI tidak menunjukkan adanya korelasi yang pasti antara kunjungan wisman dengan fasilitas visa. Oleh karenanya seyogianya Kemenparekraf melakukan kajian ulang. Selain itu perlu dimintakan pendapat dari Kementerian Pertahanan, Menko Polhukam atau Lemhannas dan BIN untuk kajian keterkaitan antara BVK dengan gangguan keamanan karena fasilitas visa tidak hanya terkait dengan wisman tetapi juga terkait radikalisme, terorisme, scammer dan gangguan keamanan lainnya.
Penelitian dari LPEM FEB UI dapat dielaborasi lebih jauh, terutama pada perhitungan korelasi antara BVK dengan jumlah wisman secara spesifik atas beberapa negara yang wismannya terbesar. Misalnya 20 negara teratas dengan dilengkapi wawancara responden, apakah wisman memang datang hanya karena adanya kemudahan visa atau karena hal lain? Terkait dengan besarnya kehilangan PNBP atas diberlakukannya BVK, perlu diadakan kajian ekonomi finansialnya terkait dengan kebijakan BVK yang seharusnya berlaku reciprocal bagi Indonesia. (*/bie)