KaltimKita.com - Direktur Eksekutif Brand Politika Eko Satiya Hushada mengaku prihatin dengan opini negatif yang berkembang belakangan ini terhadap lembaga survei.
Mulai tudingan survei bayaran untuk membangun opini tingginya elektabilitas, hingga terakhir, Bupati Kapuas periode 2013-2018 dan 2018-2023, Ben Brahim S. Bahat yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang salah satu temuannya menyebutkan, dana hasil korupsi mengalir untuk membayar jasa dua lembaga survei.
“Masa saat kita dibayar klien sesuai kontrak kerja, kita tanya, Pak, ini uang hasil korupsi atau nggak ya? Aman nggak ya uangnya? Masa begitu,” kata Eko kepada media, Rabu (29/3/2023).
Menurut Eko, sebagaimana perusahaan jasa pada umumnya, lembaga survei bekerja dengan terlebih dahulu menandatangani kontrak kerja, antara perusahaan dengan klien. Sebelum tandatangan kontrak, tentu disepakati terlebih dahulu bentuk pekerjaan, waktu pekerjaan, hingga nilai pekerjaan.
Setelah tandatangan kontrak, maka dilakukan pembayaran. Biasanya pembayaran dilakukan per-termin, jika kontrak dalam waktu lama. “Kalau survei saja, biasanya dibayar dua kali. Sebelum pekerjaan dimulai, dan sebelum hasil survei disampaikan. Untuk satu kali survei, paling lama satu bulan, tergantung luas wilayah. Mulai dari mendesain instrumen survei, wawancara di lapangan, hingga presentasi hasil survei. Kalau dilanjutkan dengan pendampingan, tergantung kebutuhan. Biasanya minimal satu tahun. Ini beda lagi pembayarannya,” jelas Eko panjang lebar.
Besaran biaya survei pun berbeda-beda, tergantung jumlah sampel dan tingkatan wilayah pemerintahan. Misalnya, survei kabupaten-kota tentu lebih murah dibanding survei provinsi, apalagi survei nasional. Dalam soal pembayaran, klien tentu akan melakukannya sesuai perjanjian dalam kontrak. Baik soal jumlah maupun waktu.
“Untuk survei misalnya, sepakat untuk melaksanakan survei. Sepakat dibayar di awal, baru kita jalan. Kalau belum ada pembayaran, ya kita tidak memulai kerja. Begitu juga di pembayaran kedua sebelum presentasi temuan survei. Ketika belum ada pembayaran, belum bisa presentasi. Semua tertuang di dalam kontrak kerjai,” jelas Eko.
Menurut konsultan politik ini, tidak lazim memuat klausul dalam kontrak yang menyatakan bahwa, klien menjamin uang yang mereka bayarkan tidak berasal dari uang korupsi. “Tidak etis ya, bisa tersinggung klien. Tapi kalau misalnya KPK mengimbau agar kontrak yang terkait dengan pejabat publik wajib memuat klausul itu, kita pasti akan muat. Pegangan himbauan KPK. Klien nggak boleh tersinggung karena ini maunya KPK,” ujar mantan wartawan itu.
Dikatakan, lembaga survei atau konsultan politik tidak pernah tahu, dari mana sumber uang yang dibayarkan kepada mereka. Sehingga jangan menilai negatif lembaga survei yang pernah bekerja dengan pejabat publik, yang belakangan ternyata si pejabat publik tersebut tersangkut kasus korupsi.
Eko juga ingin meluruskan soal narasi negatif membayar lembaga survei untuk mendongkrak elektabilitas. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menurut Eko, lembaga survei sebagai perusahaan profesional, tentu dibayar sesuai besaran dan bentuk kerjanya.
Kerja lembaga survei yang biasanya juga sebagai konsultan politik, memang harus selalu didahului dengan kegiatan survei. Tujuannya tentu untuk pemetaan opini publik terkait isu sosial politik, pembangunan, hingga mengukur elektabilitas dan popularitas sejumlah tokoh, termasuk klien.
“Dari temuan survei, lembaga survei kemudian membuat rekomendasi strategi. Klien atau timnya harus melakukan apa. Ada yang dikerjakan oleh tim si klien, ada juga yang dikerjakan oleh lembaga survei sebagai konsultan politik,” jelas Eko.
Kerja-kerja politik itulah, menurut Eko, yang bertujuan untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Misalnya, klien harus memperbanyak pertemuan dengan warga, dengan membawa sebuah pesan perubahan. Maka, dalam waktu yang sudah ditentukan, klien akan melakukan kegiatan yang direkomendasikan tersebut.
“Setelah itu, setelah beberapa bulan, sesuai kebutuhan, kita survei lagi untuk evaluasi. Mengukur lagi elektabilitas si klien dan tokoh lainnya. Ini lah bentuk kerja lembaga survei, konsultan politik. Jadi, survei itu dilakukan bukan untuk ujug-ujug elektabilitas si klien dinaikkan. Ada prosesnya, ada strateginya,” jelas Eko.
Ditambahkan, Brand Politika dan beberapa lembaga survei lainnya, tergabung dalam organisasi Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) yang diketuai Direktur Eksekutif CSIS, Philips J Vermonte. Di lembaga ini, ada Dewan Etik yang diketuai Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, yang juga Rektor Universitas Al Azhar.
Dewan Etik berhak memeriksa instrumen survei anggotanya. Jika ditemukan terjadi rekayasa survei, maka lembaga survei anggota Persepi akan diberikan sanksi. “Sanksi terberatnya dikeluarkan dari organisasi. Makanya, kalau masyarakat merasa ada lembaga survei yang mengumumkan hasil survei itu rekayasa, laporkan saja ke Persepi, sepanjang mereka anggota Persepi. nanti akan diproses oleh Dewan Etik,” jelas Eko.
Seperti ramai diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya aliran uang yang diterima oleh Bupati Kapuas periode 2013-2018 dan 2018-2023, Ben Brahim S. Bahat (BBSB) dan istrinya, Ary Egahni (AE) selaku anggota Fraksi Nasdem DPR RI periode 2019-2024, digunakan untuk membayar dua lembaga survei.
Hal itu diungkapkan langsung oleh Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, saat mengumumkan status tersangka dan penahanan terhadap Ben Brahim dan Ary Egahni di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan pada Selasa sore (28/3).
"Mengenai besaran jumlah uang yang diterima BBSB dan AE sejauh ini sejumlah sekitar Rp 8,7 miliar, yang antara lain juga digunakan untuk membayar dua lembaga survei nasional," ujar Johanis.
Johanis menyebut, sumber uang yang diterima Ben Brahim dari Ary berasal dari berbagai pos anggaran resmi yang ada di SKPD Pemkab Kapuas. Fasilitas dan sejumlah uang yang diterima digunakan oleh Ben Brahim untuk biaya operasional saat mengikuti Pemilihan Bupati Kapuas, Pemilihan Gubernur Kalteng, termasuk keikutsertaan Ary dalam Pemilihan anggota Legislatif (Pileg) DPR RI 2019. (*)