Catatan Eko Rahmawanto
(Direktur Media PSSI)
CURACAO nama yang masih asing. Tapi, dalam kontestasi sepak bola, dia cepat melambung. Layak jadi jembatan tim nasional Indonesia menuju peringkat FIFA yang lebih baik.
Siapakah Curacao? Tak banyak yang kenal. Rasanya, tak sampai 10% masyarakat Indonesia pernah mendengar Curacao sebelum tim nasional menyiapkan dua laga uji coba di Matchday FIFA.
Wajar saja. Curacao negara baru. Berdaulat, otonom, tapi masih di bawah pengaruh Kerajaan Belanda. Curacao pun baru menjelma menjadi negara baru, setelah memisahkan diri dari Antilles Belanda, 10 Oktober 2010 lalu.
Wilayahnya kecil. Terletak di Karibia, luasnya hanya 444 km. Dua kali wilayah Kota Bogor saja. Penduduknya? Kira-kira sestadion Narendra Modi di Ahmedabad, India. Hanya 155 ribu.
Tapi, dalam konteks sepakbola, mereka negara hebat. Jika ungkapan klasik di kita masih sulit mencari 11 pemain dari 275 juta penduduk, mereka memiliki tim yang kuat. Tak sulit bagi Curacao menemukan 11 pemain dari 155 ribu warganya.
Kini, mereka menempati peringkat ke-84 World FIFA Ranking. Hampir dua kali lipat di atas posisi Indonesia yang 155.
Jika sebagian orang menilai peringkat FIFA bisa saja bias, maka tanyalah kepada Gregg Berhalter, bagaimana kekuatan Cucarao. Berhalter adalah pelatih timnas Amerika Serikat di Piala Emas Concacaf 2019 lalu, turnamen terakhir yang diikuti Cucarao.
“Kalian ingin kami habis-habisan dan mengalahkan mereka 5-0. Tapi kami tahu, ini akan jadi pertandingan yang berat. Mereka tahu tak ada lagi esok hari jika mereka kalah,” katanya.
AS adalah lawan Curacao di perempat final Piala Emas Concacaf 2019 itu. Mereka beruntung, main di hadapan publik sendiri. Mereka juga sangat beruntung memiliki kiper Zack Steffen. Empat kali dia melakukan penyelamatan gemilang. Kalau tidak, Curacao sudah melaju ke perempat final. Curacao hanya kalah tipis 0-1.
Remko Bicentini, pelatih Curacao yang saat itu juga menangani timnas di Piala Emas Concacaf, bangga dengan performa pasukannya. Bukan hanya nyaris mengalahkan AS –yang akhirnya maju ke final sebelum dikalahkan Meksiko, tapi juga karena penampilan di penyisihan grup.
Jika di edisi sebelumnya, 2017, Curacao selalu kalah dan tak mencetak sebiji gol pun, kali ini mereka lolos ke perempat final tanpa kebobolan satu gol pun.
Curacao memiliki pemain bagus. Rata-rata berkiprah di Belanda. Sebagian adalah yang lahir di Negeri Dam itu. Tak heran, sebagian di antara mereka berkiprah di klub-klub Belanda.
Ada yang main di level tertinggi, Eredivisie, ada pula yang di bawahnya. Satu yang kian bersinar adalah Quilindschy Hartman. Sayangnya, Feyenoord, satu dari tiga klub terbaik Belanda, tak melepasnya melakukan debut bersama Curacao di Indonesia karena masih harus memulihkan cedera.
Tak sedikit pula yang merumput di liga-liga lainnya di Eropa. Dua bersaudara Leandro dan Juninho Bacuna main di klub Inggris. Leandro main di klub kasta tinggi semisal Aston Villa, Reading, dan Cardiff City. Juninho memperkuat Birmingham City.
Timnas mereka juga dibangun pelatih-pelatih hebat. Tentu dengan memanfaatkan koneksi Belanda. Dua nama terkenal pernah menukangi: Guus Hiddink dan Patrick Kluivert. Hiddink, salah satu pelatih terbaik Belanda, bahkan menjadikan Curacao sebagai tim terakhir yang dia tangani sebelum pensiun.
Dengan kondisi seperti itu, tak ada alasan “mengecilkan” makna uji coba timnas lawan Curacao ini.
Tak patut mempertanyakan, lho kok lawannya Curacao?
Bagi timnas, pertandingan internasional ini memiliki dua makna yang penting. Pertama, tentu saja sebagai ajang mengasah kemampuan tim yang disiapkan menghadapi Piala Asia 2023 yang lokasi penyelenggaraan belum dipastikan.
Mengasah kemampuan dan kekompakan pemain penting dilakukan melalui pertandingan. Selain mendapatkan pengalaman internasional lebih banyak, duel ini juga jadi kesempatan bagus bagi Pelatih Shin Tae-yong menyigi kekurangan dan memperbaiki kualitas kemampuan timnya.
Menyiapkan tim yang lebih bisa “berbunyi” di Piala Asia 2023 yang bisa saja digelar di Indonesia, adalah tugas Shin Tae-yong.
Dia dan timnya butuh pertandingan-pertandingan uji coba seperti ini.
Selain itu, pertandingan ini juga bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak posisi timnas Indonesia dalam daftar peringkat FIFA. Tak perlu terlalu muluk mencapai peringkat ke-76 seperti pada September 1998, masuk 100 besar saja sudah patut kita syukuri.
Peringkat FIFA, bagaimanapun, memiliki arti cukup penting. Bukan sekadar menjadi tolok ukur posisi tim nasional, tapi juga jadi penentu setiap mengikuti turnamen. Di setiap turnamen-turnamen resmi FIFA, pengundian dilakukan melalui pot-pot yang berdasarkan peringkat timnas.
Di Piala Asia 2023, misalnya, timnas dipastikan akan menghadapi lawan-lawan berat di penyisihan grup. Kenapa? Karena Indonesia masuk dalam pot 4. Itu karena pasukan Shin Tae-yong memiliki peringkat FIFA ke-155, paling rendah di antara 23 tim lainnya.
Last but not least, pertandingan internasional Indonesia vs Curacao yang digelar di Stadion Gelora Bandung Lautan Api di Kota Bandung pada Sabtu, 24 September 2022 dan Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor di hari Selasa, 27 September 2022, adalah kesempatan bagi penggemar tim nasional mengobati rindu menyaksikan penampilan tim kesayangan. (*)