Tulis & Tekan Enter
images

Ketahanan Pangan di IKN dan Kalimantan Timur

Oleh : Dr.Isradi Zainal
Rektor Uniba, Sekjen Forum Rektor PII, Direktur Indeks Survey Indonesia (Insurin)

Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dan tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan (UU Pangan no.12 tahun 2012).

Untuk mewujudkan ketahanan pangan diperlukan kedaulatan pangan dan kemandirian pangan. Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Sementara kemandirian pangan merupakan kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam di dalam negeri yang dapat mrnjamin kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Untuk konteks IKN dan Kaltim, maka ketahanan pangan berarti kemampuan IKN dan Kaltim dalam memenuhi kebutihan pangan warganya. Menurut UU no . 18 tahun 2012 pasal 12, pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas ketersediaan pangan. Untuk itu menjadi kewajiban otorita IKN dan pemerintah propinsi Kaltim untuk secara bersama sama dengan pemerintah pusat dalam memastikan cukup dan tersedianyan bahan pangan di wilayahnya.

Di akhir tahun 2019, saya berkesempatan bertemu dengan menteri Pertanian RI Dr.Ir.Andi Amran Sulaeman untuk menanyakan bagaimana cara agar IKN yang ada di Sepaku dan Samboja memiliki ketahanan pangan dalam artian mampu menyiapkan pangan sendiri atau setidaknya wilayah yang ada di Kaltim atau Kalimantan mampu menyuplai bahan pangan bagi warganya.

Saat saya tanya terkait ketahanan pangan Ibu Kota Negara yang ada di Kaltim, menteri AAS menyatakan bahwa IKN baru harus mandiri pangan atau setidaknya bisa disuplai oleh Kaltim dan sekitarnya, dan caranya adalah dengan membuat grand design dengan memperhatikan keunggulan komparatif wilayah.

Di pertengahan tahun 2022 dalam diskusi di goup WA bersama tim transisi IKN dimana saya ikut didalamnya dibahas kembali terkait konsep Ketahanan pangan di IKN yang mengingatkan saya terkait harapan sejumlah warga di IKN untuk tetap bertani karena hanya itu saja keterampilannya.

Dalam diskusi tersebut tercetus konsep pertanian moderen untuk kawasan khusus di IKN dengan melatih petani sebagai petani modern. Apalagi IKN ini di desain sebagai kota yang memiliki areal hutan sekitar 70%. Bahkan wakil kepala Otorita IKN Dhony Rahajoe menyatakan bahwa hal tersebut memungkinkan karena disekitar IKN disiapkan sekitar 20.000 hektar sebagai lahan pertanian.

Dalam diskusi bersama warga terkait Amdal di Ibu Kota Negara Nusantara yang diselenggarakan pada tanggal 4 Juni 2022 oleh tim transisi otorita IKN dan instansi terkait di Hotel Platinum, seorang praktisi pertanian dari Samboja berharap wilayah samboja yang ada di Kutai Kertanegara dioptimalkan lahan pertaniannnya karena memiliki potensi yang sangat baik.

Hal ini mendorong saya untuk mengundangnya ke kampus untuk membicarakan lebih lanjut terkait harapan dan konsep yang diinginkannya. Hasil pembicaraan dengan mereka saat di kampus menyimpulkan bahwa samboja dan Kaltim potensi untuk pertanian hortikultura.

Mereka menyampaikan juga bahwa ada juga seorang warga Kaltim yang juga ketua umum KTNA sangat paham terkait potensi pangan di Kalimantan timur.

Sebagai tindak lanjut dari diskusi bersama dengan Pak Adriansyah praktisi pertanian dan ketua KTA dari Samboja dan tim, kami menjanjikan untuk mengundang Menteri Pertanian RI periode 2014-2019 yang sempat bertemu saya di tahun 2019 di salah satu acara KAHMI di Balikpapan dimana saya tanyakan konsep kemandirian pangan di IKN.

Akhirnya pada tanggal 22 Juli 2022 saya mengundang Pak AAS ke kampus untuk membahas lebih detail terkait ketahanan dan kemandirian pangan di IKN. Dalam paparannya AAS menyatakan bahwa IKN dan Kaltim yang memiliki lahan pertanian tidak kurang dari 100.000 hektar sebagai lahan pertanian dan untuk mengoptimalkannya dapat dengan intensifikasi dan untuk memenuhi kebutuhan warga sekitar 5 juta penduduk akibat pengaruh berpindahnya IKN.

Pada dasarnya dengan area lahan pertanian seluas 50.000 hektar saja sudah dapat memenuhi dengan catatan panen 3 (tiga) kali setahun dan produktivitasnya cukup. Artinya dengan lahan 100.000 herktar dipastikan mampu mencukupi kebutuhan pangan di IKN dan Kaltim.

Dalam kaitan dengan kemandirian pangan di Kaltim (termasuk IKN), Gubernur Kaltim Dr.Isran Noor menyampaikan sejumlah langkah yang mesti dilakukan dalam mewujudkan kemandirian pangan diantaranya jaminan ketersediaan dan pengembangan lahan lestari, meningkatkan produksi dan produktivitas komoditi strategis pertanian dan perikanan, mendorong pengembangan tanaman hortikultura, mendorong pengembangan areal perkebunan pada komoditi strategis, meningkatkan populasi ternak sapi 2(dua) juta ekor melalui integrasi sawit, lahan ex batubara dan keterlibatan masyarakat petani secara luas.

Pun meningkatkan produksi ikan melalui budidaya dan tangkap serta mengembangkan kebijalan penunjang sarana, prasarana, SDM, dan pembiayaan yang proporsional dengan melibatkan swasta.

Meski demikian, menurut Isran Noor, sejumlah permasalahan yang dihadapi dalam upaya ketahanan pangan di Kaltim (termasuk IKN) diantaranya: kurangnya minat masyarakat untuk bertani karena tambang dan sawit lebih menjanikan, masih rendahnya kemampuan dan pemandaatan teknologi untuk pengembangan usaha tani, pemanfaatan alat dan mesin pertanian (alsintan) belum optimal, kurangnya irigasi dan minimnya ketersediaan air, disebabkan terbatasnya jaringan irigasi, terutama irigasi primer dan sekunder.

Kemampuan petani untuk membeli pupuk masih terbatas, terbatasnya kualitas lahan, dan kondisi tanah semakin sakit akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dan penanganan pascapanen dan pengolahan hasil belum optimal. (*)


TAG

Tinggalkan Komentar