Tulis & Tekan Enter
images

Ketika Jenderal M. Yusuf Menggebrak Meja di Depan Presiden Soeharto

JAKARTA - Di ketentaraan jabatan tertinggi yang pernah diemban M. Jusuf adalah Pangdam Hasanudin dengan pangkat Brigadir Jenderal. Setelah berhasil menumpas pemberontakan Kahar Muzakkar pada 1965, oleh Presiden Sukarno, dia ditarik ke kabinet sebagai Menteri Perindustrian.

Pasca Gerakan 30 September 1965, Jusuf bersama Jenderal Basuki Rahmat dan Jenderal Amir Machmud mendatangi Sukarno dan mendesaknya untuk mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Surat itulah yang menjadi legitimasi Soeharto menggantikan Sukarno.

Di bawah pemerintahan Soeharto, Jusuf yang punya nama lengkap Andi Muhammad Jusuf Amir bertahan sebagai Menteri Perindustrian hingga 1978. Sementara Basuki dijadikan Menteri Dalam Negeri sejak 1966 sampai meninggal dunia pada 8 Januari 1969. Posisinya kemudian diisi Amir Machmud.

Setelah 13 tahun berkiprah di jabatan sipil, pada 1978 Soeharto mengangkat M. Jusuf sebagai Menhankam/Pangab, menggantikan Jenderal Maraden Panggabean. Sebagai sesama anggota kabinet, hubungan Jusuf dengan Amir semula sangat baik. Apalagi keduanya merupakan tokoh di balik lahirnya Supersemar. Bila Amir sebagai Mendagri membutuhkan figur TNI aktif untuk mengisi jabatan sipil, dia akan berkonsultasi dan meminta persetujuan Jusuf.

Sebagai Panglima ABRI, Jenderal Jusuf kukuh akan pendiriannya untuk menjadikan ABRI berada di semua golongan. Sebaliknya, Amir sebagai Mendagri lebih condong kepada Golkar. Di sisi lain, aktivitas Jusuf yang hampir setiap hari menjalin komunikasi dengan para prajurit di berbagai daerah ada yang memaknainya berbeda. Apalagi aktivitas itu selalu mendapatkan peliputan luas dari media massa.

Popularitas M. Jusuf pun menjulang.

Letjen (Purn) Rais Abin yang pernah menjadi Asisten Perencanaan Umum di bawah M. Jusuf menulis bosnya itu selama lima tahun dau bulan menjabat Menhankam/Pangab telah melakukan 411 hari perjalanan, dan 172 kali kunjungan kerja. Total jarak yang ditempuh 588.122 kilometer. "Ucapannya terekam dalam 650 kaset," tulis Rais dalam buku 'Mission Accomplished'.

Suatu malam, Presiden Soeharto mengumpulkan sejumlah menteri di Cendana untuk membahas sejumlah masalah kenegaraan. Mereka yang hadir antara lain M Jusuf, Amir Machmud, Asintel Hankam Letjen LB Moerdani, dan Mensesneg Letjen Sudharmono. Di kesempatan pertema pertemuan itu, Amir langsung mempersoalkan popularitas Jusuf yang kian menanjak, nyaris menyaingi Soeharto.

Jusuf juga disebut sebagai bagian dari adanya ambisi tertentu.

Tiba-tiba Jenderal Jusuf menggebrak meja dengan tangannya. Dengan suara keras ia menukas, "Bohong! Itu tidak benar semua," ujarnya seperti tertuang di halaman 269 biografi, "Jenderal M Jusuf, Panglima Para Prajurit" yang ditulis Atmadji Sumarkidjo. Saya ini, lanjutnya, diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah Bapak Presiden. Saya ini orang Bugis. Jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang Bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa!

Suasana sontak senyap. Semua peserta rapat terdiam. Untuk memecah kekakuan, Soeharto lalu mengakhiri rapat. Semua keluar ruangan kecuali Jusuf. "Jadi, Pak Jusuf, kita bicarakan hal-hal itu lain kali saja," kata Soeharto sambil berdiri dan mengantar Jusuf ke luar ruangan.

Sejak itu, tulis Atmadji, Menhankam/Pangab Jenderal M. Jusuf tak pernah mau menghadiri rapat kabinet di Bina Graha. Dia selalu mengutus wakilnya, Laksamana Sudomo. Terhadap Jusuf, Soeharto terkesan menaruh hormat tersendiri. Dia juga seolah tak berkutik ketika sejumlah jenderal pilihannya dicopot oleh Jusuf.

Sebagai Ketua Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selepas menjadi Menhankam/Pangab, Jusuf pun masih mendapatkan perhatian tersendiri dari Soeharto. Ketika pada suatu malam dia ingin menghadap Soeharto, oleh ajudan Kolonel Wiranto dijadwalkan di waktu lain karena malam itu Presiden sudah ada agenda dengan Panglima ABRI dan para Kepala Staf.

"He Wiranto, kau sampaikan saja kepada Presidenmu bahwa Pak Jusuf mau menghadap malam ini...."

Soeharto yang menerima laporan tersebut sambil tertawa berujar, "Kalau Pak Jusuf yang minta berarti pasti itu penting. Biar Panglima menunggu setelah acara saya dengan Pak Jusuf selesai." (detik/bie)

 

 


TAG

Tinggalkan Komentar