Kaltimkita.com, BALIKPAPAN – Sebuah kisah kelam di dunia digital berujung pada respons lintas negara yang tak hanya menyelamatkan seorang gadis remaja asal Swedia dari jeratan pemerasan seksual, tetapi juga menyelamatkan pelakunya dari ancaman meja hijau di negeri asing.
Pelakunya, AMZ (20), pemuda asal Balikpapan, terjerat dalam kasus sextortion lintas negara yang menyasar ke seorang gadis 15 tahun asal Swedia.
Ya, aksi ini awalnya terendus dari laporan seorang ibu di Swedia yang mengadukan dugaan pelecehan daring terhadap putrinya kepada otoritas setempat. Informasi itu kemudian diteruskan ke Interpol dan Kedutaan Besar RI di Stockholm.
Berbekal laporan internasional, tim Siber Polda Kaltim langsung bergerak. Penyelidikan dilakukan sejak awal Juni 2025, hingga akhirnya AMZ ditangkap di kawasan Jalan Mulawarman, Kota Balikpapan, pada 15 Juli.
Namun alih-alih memproses kasus ini secara pidana hingga ke tingkat ekstradisi, aparat memilih jalur restorative justice yaitu pendekatan yang tak biasa untuk kasus bernuansa internasional. Pertimbangannya yakni kemanusiaan, koordinasi lintas batas, serta fakta bahwa konten belum sempat disebarluaskan.
“Penanganan dilakukan sangat hati-hati dan profesional. Kami bersyukur keluarga korban memilih tidak menempuh jalur hukum internasional,” ujar Kabid Humas Polda Kaltim, Kombes Pol Yuliyanto dalam konferensi pers di Mapolda Kaltim, Rabu (16/7/2025).
Dalam proses pengungkapan, Subdit V Siber Polda Kaltim menemukan bahwa pelaku menjalin komunikasi dengan korban melalui aplikasi game Roblox, lalu berlanjut ke Discord dan media sosial lainnya. Selama interaksi yang berlangsung sejak 2024, pelaku membangun kedekatan emosional untuk mengelabui korban.
Menurut Kasubdit Cyber Kompol Ariansyah, korban sempat mengirim puluhan foto dan video berisi konten asusila.
“Dalam salah satu percakapan, pelaku bahkan meminta uang 500 dolar. Namun hanya 50 dolar yang sempat ditransfer oleh pihak korban,” katanya.
Meski demikian, hasil forensik digital menunjukkan bahwa tidak ada distribusi konten yang dilakukan pelaku.
Berdasarkan hasil pemeriksaan forensik bahwa perangkat milik pelaku, baik ponsel maupun laptop, dapat dipastikan bahwa konten belum sempat didistribusikan atau disebarluaskan.
Fakta tersebut menjadi salah satu pertimbangan utama mengapa kasus ini tidak dilanjutkan ke tahap penuntutan.
Menurut Ariansyah, unsur pidana dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait penyebaran konten bermuatan pornografi belum terpenuhi.
Sebab itu, penanganan perkara ini sepenuhnya dilakukan melalui pendekatan restorative justice.
“Mengingat tidak ada laporan pro justitia yang masuk hanya berupa laporan informasi dan keterbatasan pelapor yang berdomisili di luar negeri sehingga tidak memungkinkan membuat laporan resmi di Indonesia,” jelasnya.
Sementara itu, AMZ telah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Dia tampak menunduk lesu dan menyadari kesalahan fatal yang nyaris menyeretnya ke ranah hukum global.
“Saya menyesal atas kesalahan saya dan berjanji tak akan mengulangi lagi. Jika kelak saya mengulanginya kembali, saya bersedia bertanggung jawab dan ditindak secara pidana,” ungkapnya menyesal. (lex)


