Oleh : Belpas Hadiyanto, S.T
Gempa.. Ah aman aja, terutama bagi yang tinggal di pulau Kalimantan.. Betul kah demikian ?! Mari kita perbarui lagi data kita terkait identifikasi Zona Gempa terbaru di Indonesia
Berdasarkan referensi dari SNI nomor 1726 tahun 2019, perihal Tatacara perencanaan Ketahanan Gempa untuk struktur bangunan Gedung dan Non Gedung. Telah di cantumkan zona gempa terbaru Indonesia (terlampir, sumber : https://rsa.ciptakarya.pu.go.id).
Dan ternyata sudah tidak ada lagi Zona Aman Gempa di Indonesia, termasuk pulau Kalimantan yang tadinya menjadi satu-satunya pulau besar di Indonesia yang tidak masuk Zona Gempa.
Terlihat di peta Zona Gempa SNI 1726 2019, bahkan sudah ada 2 titik Zona Rawan Gempa di pulau Kalimantan. Yaitu di daerah Kalimantan Timur (Kabupaten Paser) sampai Kalimantan Selatan sisi Utara (Kabupaten Tabalong, Balangan, dan Kotabaru) kemudian masih di Kalimantan Timur di sisi ujung Timur Laut (Kabupaten Kutai Timur dan Berau).
Cek ombak dulu yah, untuk validitas data diatas. Kita ambil contoh di daerah Kabupaten Paser, bagaimana Riwayat kejadian Gempa Bumi disana. Menurut data yang berhasil dikumpulkan bahkan dari tahun 1998 sampai Maret 2022 ini telah terjadi 6 kali Gempa Bumi; 28 Mei 1998 (4,8 SR), 22 Nopember 2009 (4,4 SR), 25 Mei 2013 (4,7 SR), 2 Mei 2018 (4,3 SR), 19 Mei 2019 (4,1 SR) dan terbaru pada 1 Maret 2022 (4,5 SR).
Lalu apa yang harus kita persiapkan dan lakukan guna antisipasi terkait perubahan Zona Gempa tersebut, khususnya kita yang tinggal di dalam zona gempa utamanya di area Tambang.
Nah untuk itu kita terlebih dahulu harus mengkategorikan peruntukannya secara umum, dalam hal ini kita coba ulas dan paparkan dari 2 aspek yaitu konstruksi sipil bangunan dan fasilitas di tambang
Terkait aspek konstruksi sipil dan bangunan kita coba ulas gambaran umumnya yah, secara umum material yang umum digunakan dalam bidang konstruksi adalah material Beton, Baja dan Kayu. Kita ambil salah satu acuan untuk struktur bangunan beton. Untuk desain dan perencanaan struktur beton di Indonesia saat ini mengacu pada SNI 03-2847-2019 “Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung dan Penjelasan”.
Namun pada dasarnya pengaruh Gempa pada desain perencanaan Bangunan baik beton, baja dan kayu terletak pada pemilihan nilai R(Koefisien Faktor Reduksi Gempa). Yang jika pada bangunan Beton jika terletak pada zona gempa besar maka nilai R harus mengacu pada standar acuan SRPMK (Struktur Rangka Penahan Momen Khusus), pada zona gempa sedang maka acuan SRPMS (Struktur Rangka Penahan Momen Sedang) dan jika pada zona gempa kecil maka acuannya SRPMB (Struktur Rangka Penahan Momen Biasa).
Kekhususan untuk bangunan tahan gempa adalah ketika menentukan besarnya beban akibat gempa. Besarnya beban gempa (lateral) yang harus diterapkan pada bangunan tersebut dapat disederhanakan sebagai V (gaya gempa dasar), yang merupakan fungsi dari berat struktur dan beban-beban rencana yang dipikulnya, Wt. Fungsi yang dimaksud ditentukan oleh faktor Cs atau koefisien respon gempa yang dapat dirumuskan sebagai : V = Cs x Wt.
Nah di dalam faktor Cs tersebut terdapat parameter koefisien R atau faktor modifikasi respon, I (importan factor) dan Sds atau spectral rencana. Cs ditentukan oleh kondisi tanah dan wilayah tempat bangunan itu dibangun (nanti), yang merupakan faktor geografi tempat struktur dibangun, adapun I ditentukan oleh fungsi atau kegunaan bangunan yang merupakan refleksi terhadap kepentingan pemakai (relatif), sedangkan faktor R adalah sangat ditentukan oleh jenis struktur dan juga pendetailan dari elemen-elemen batang dan sambungan penyusunnya terutama pendetailan pada area Hubungan Balok Kolom (HBK).
Jadi faktor R digunakan untuk merepresentasikan pengaruh adanya daktilitas ketika terjadi gempa selain sebagai faktor reduksi gaya gempa. Rumusannya adalah sebagai berikut Cs = Sds x I /R. Jadi terlihat bahwa nilai R akan secara langsung berpengaruh pada besarnya beban gempa, dimana V = Cs x Wt. Selain perlunya pendetailan pada area HBK, perlu dipastikan juga kekuatan penampang balok dan kolomnya, yaitu untuk memastikan konsep strong-column & weak-beam akan terjadi pada struktur bangunan rencana.
Selain itu pada daerah rawan gempa tidak direkomendasikan penggunaan pondasi jenis umpak yang hanya menempel pada tanah, kecuali ada perkuatan tahanan lainnya.
Lalu bagaimana dengan infrastruktur tambang, pada area Pit Tambang kita kenal Namanya daerah timbunan atau Disposal baik tanah Over Burden (OB) maupun disposal material lumpur (Mudcell). Namun ada baiknya kita ketahui jenis karakteristik tanah yang terdapat di Tambang.
Sesuai contoh diatas yang kita ambil daerah Kabupaten Paser, secara umum hasil kuat geser niralir rata-ratanya (Su) sebesar 70-150 kPa untuk tanah aslinya yang masuk klasifikasi jenis tanah sedang, sedangkan (Su) sebesar 40-60 kPa nilai kuat geser niralir rata-ratanya untuk tanah timbunan baru di disposal. Untuk nilai (Su) pada tanah timbunan Disposal, seiring waktu terus meningkat seiring terjadinya konsolidasi tanah baik secara mekanis maupun alami.
Tentunya pada zona rawan gempa diperlukan pemilihan lokasi dan desain yang tepat untuk penempatan fasilitas Disposal maupun Mudcellkarena akan menjadi potensi bidang gelincir. Selain tentunya wajib dilakukannya monitoring secara intens dan terkini (real time) terkait potensi pergerakan dan pergeseran lereng (slope stability).
Manusia tidak bisa melawan alam, namun harus bersahabat dengannya melalui identifikasi dan pengendalian yang lebih baik guna pencegahan dan penanggulangan lebih lanjut. (*)