Tulis & Tekan Enter
images

Praperadilan Dalam Dimensi Mencari Keadilan

PRAPEEADILAN adalah kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus persoalan yang berhubungan dengan kewenangan upaya paksa dari aparat penegak hukum, termasuk juga masalah ganti rugi.

Praperadilan adalah untuk memberikan perlindungan pada masa “pra persidangan” bagi tersangka (TSK) atau oang lain yang merasa hak nya dilanggar oleh kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum.

Praperadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa pokok perkara.

Pasal 82 ayat (1) huruf d Kuhap : "Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;”

Artinya ada dimensi dan jurisdiksi yang sangat berbeda dari praperadilan yang membedakannya dengan pemeriksaan pokok perkara.

Praperadilan juga hanya ditujukan untuk memeriksa aspek “formil”.

Aspek yang diperiksa terbatas pada konteks sah atau tidaknya suatu upaya paksa dan tidak berhubungan pada pemeriksaan pokok perkara.

Praperadilan memeriksa sah atau tidaknya penetapan Tersangka [TSK], Pasal 2 ayat (2) PERMA No. 4 Thn 2016 dan secara eksplitis menyatakan bahwa sah tidaknya penetapan Tersangka [TSK ] hanya dinilai berdasarkan “aspek formil” melalui paling sedikit 2 (dua) alat bukti yg sah.

Secara praktek dan teori yang dimaksud “aspek formil” adalah aspek perolehan dan validitas alat bukti.

Itu lah mengapa Praperadilan tidak menggugurkan kewenangan penyidik misalnya untuk kembali menetapkan seseorg menjadi TSK sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PERMA No. 4 Thn 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, sepanjang penyidik yakin dan memiliki 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dlm PERMA No. 4 Thn 2016.

Pertanyaan bagimana dengan nebis in idem...?

Kenapa tidak ada prinsip nebis in idem dalam praperadilan?

Tentu karena dalam paperadilan, TSK lah yang menjadi pihak yang memohonkan dan menuntut.

Arti sebenarnya dari neb is in idem adalah : “tidak atau jangan dua kali yang sama”.

Biasa juga digunakan istilah “nemodebet bis vexari” (Tidak seorangpun atas perbuatnya dapat diganggu / dibahayakan untuk kedua kalinya) yg dalam literature Angle Saxon diterjemahkan menjadi “No one could be put twice in jeopardy for tha same offerice”.

Nahh, misal bila prinsip nebis in idem dipakai, maka yang harus dilindungi justru posisi dari aparat penegak hukum.

Sehingga bertentangan dengan maksud prinsip nebis in idem itu sendiri.

Pasal 82 ayat (1) huruf e KUHAP bahwa : *“putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan, praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika utk itu diajukan permintaan baru.”*

Dengan ketentuan pasal di atas, KUHAP justru membuka ruang agar Tersangka [TSK] tetap dapat mengajukan permohonan praperadilan baru di tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum meskipun sudah ada putusan praperadilan pada tingkat penyidikan.

Intinya KUHAP mengatur terkait praperadilan, khususnya pasal 82 ayat (1) huruf e KUHAP tidak menganut prinsip nebis in idem.

Artinya nebis in idem hanya berlaku dalam tahapan pemeriksaan pokok perkara di persidangan dan tidak berlaku dalam konteks pemeriksaan praperadilan yang secara aturan memang tidak mememiliki kewenangan untuk memeriksa pokok perkara.

Mengapa ? Dimensi kewenangan praperadilan dan pemeriksaan di ruang sidang sangat berbeda, tujuan pokoknya juga berbeda, sehingga tidak tepat bila prinsip nebis in idem penyidikan di persoalkan dlm pemeriksaan di praperadilan.

Advokat Bambang Wijanarko Law Office BW&PARTNERS & Wakil ketua DPD KAI [ADVOKAI] Kalimantan Timur.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


TAG

Tinggalkan Komentar