Catatan Rizal Effendi
KALAU lagi bicara soal buah-buahan hutan, saya sering membicarakan buah rambai. Sekarang sudah sulit dicari. Padahal dulu berhamburan. Seakan tak ada harganya. Karena itu saya senang, ketika Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Ibu Prof Dr Siti Nurbaya Bakar mau menanam rambai di lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN).
Itu dikemukakan Ibu Menteri ketika menyampaikan orasi ilmiah pada Dies Natalis ke-60 Universitas Mulawarman (Unmul), Selasa (27/9) lalu. “Selain jengkol, rambai, dan mangga akan ditanam sebagai tanaman naungan dan sumber pakan satwa di hamparan IKN,” katanya.
Pasti banyak yang tidak tahu buah rambai seperti apa. Rambai yang dalam nama botanisnya disebut Baccaurea motleyana itu, dulu banyak tumbuh di Thailand, Malaysia, dan Indonesia khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Belakangan sudah jarang dilihat dan dijual warga. Kabarnya masih ada di wilayah Kalimantan Selatan dan Sumatera.
Beberapa tahun lalu ketika saya masih wali kota, saya sempat melihat pohon rambai di satu perkampungan di wilayah Balikpapan Timur. Kebetulan pas berbuah. Saya senang sekali, bisa naik sedikit ke atas. Walau tidak terlalu berani tinggi. Saya lihat sebagian buahnya jatuh ke tanah. Tak ada orang yang memungut apalagi memakannya.
Pohon rambai memang relatif lebih besar dari langsat atau duku. Rimbun dan bercabang-cabang. Rantai buahnya jauh lebih banyak ketimbang langsat. Mirip rantai kolang-kaling di pohon aren. Jadi dari segi penampilan, rambai lebih menggoda.
Dibanding langsat atau duku, rambai kalah manis. Karena itu dulu buah rambai baru muncul dan dijual orang menjelang musim buah akan berakhir. Rambai tahu diri. Mungkin leluhur atau orang tua kita sengaja menanamnya belakangan dari langsat atau duku, sehingga masih bisa laku dijual karena panennya juga belakangan.
Yang masih keluarga dekat rambai adalah menteng (Baccaurea racemose) atau kepundung. Tak jarang orang tertukar dalam penyebutan. Saya sendiri tak terlau kenal dengan menteng. Perbedaannya bunga dan buah menteng tumbuh di ujung dahan. Selain itu, rambai relatif lebih manis.
Forum Komunitas Hijau (FKH) Banjarmasin membuat minuman segar dari rambai padi.
Meski kecut, buah menteng lebih menarik karena berwarna ungu. Tapi saya sendiri tidak pernah melihat langsung. Kabarnya juga banyak khasiatnya, mulai untuk penglihatan, menyembuhkan keluhan pencernaan, antioksidan, mengurangi risiko osteoporosis sampai memelihara kesehatan reproduksi wanita.
HANYA DUA
Keluarga rambai cukup banyak. Tapi yang saya tahu dan pernah saya makan hanya rambai biasa dan rambai padi. Rambai biasa kalau masih hijau sangat kecut. Tapi kalau sudah masak dan kulitnya berwarna cokelat atau keputih-putihan cenderung terasa manis.
Sewaktu kecil dulu saya sering bermain dan adu kesabaran bersama teman-teman. Bagaimana memutus urat yang ada di buah rambai tanpa rambainya pecah. Yang kalah mendapat hukuman tertentu atau berapa biji rambainya diserahkan kepada yang menang.
Banyak manfaat buah rambai untuk tubuh kita. Dalam sebuah jurnal kesehatan disebutkan, salah satunya membantu menjaga kadar gula darah. Buah rambai yang berisi air, protein, sakarosa, serat, dan beberapa unsur vitamin dan mineral lainnya, pasti sangat menyehatkan tubuh kita.
Buah rambai juga bisa mencegah kanker, mengatasi dehidrasi, membantu sistem pencernaan, sebagai nutrisi pascamelahirkan, menyembuhkan penyakit kulit dan sebagai sumber energi bagi tubuh.
Sementara itu, rambai padi dulu banyak ditemukan di sepanjang Sungai Karang Mumus dan Mahakam. Dia memang tumbuh di pesisir. Pohon dan buahnya sangat jauh bedanya dengan rambai biasa. Mirip apel malang yang hijau. Sehingga ada yang menyebutnya mangrove apple. Karena buahnya dianggap tidak berguna, sering kita gunakan untuk lempar-lemparan saja.
Berdasarkan sebuah catatan, rambai padi atau pidada masuk dalam kelompok tumbuhan dari marga Sonneratia. Marga ini juga dinamai Blatti oleh ahli botani Inggris James Edward Smith, tetapi nama Sonneratia mendapatkan prioritas sebagai nama ilmiah.
Forum Komunitas Hijau (FKH) Banjarmasin pernah membuat minuman segar dan bernilai ekonomis dari buah rambai padi. Hasilnya sangat menggembirakan. “Meskipun agak kecut sedikit, kecutnya sangat khas dan bisa membuat orang ketagihan,” kata Ketua FKH Mohammad Ary kepada Antara.
Yang populer, pucuk rambai padi juga bisa jadi campuran pupur dingin untuk mengobati jerawat atau mereka yang terinfeksi cacar air. Caranya, ambil 20 sampai 30 pucuk rambai padi, lalu ditumbuk bersamaan dengan 5 atau 10 butir bedak dingin. Beri air secukupnya. Setelah menyatu langsung bisa disapukan ke wajah seperti orang memakai masker.
Sudah banyak orang menjual pupur dingin yang sudah dicampuri pucuk daun rambai padi terutama di Banjarmasin dan Martapura. Kabarnya banyak yang berhasil untuk menyehatkan wajah. “Pupur dingin pucuk rambai padi memang berkhasiat,” kata seorang ibu.
Saya mendengar kabar Pemerintah Kota Banjarmasin merencanakan akan membangun hutan kota dari tanaman rambai padi. Wilayah yang ingin dijadikan hutan kota rambai padi adalah di daerah sungai kawasan Jl Jafri Jamjam karena kawasan itu akan dijadikan kawasan wisata perairan.
Melalui siaran radio di mobil, saya juga mendengar Pemerintah Kota Balikpapan akan membangun kebun buah langka seluas 5 hektare di Kebun Raya Balikpapan. “Kita akan mulai tahun 2023 mendatang,” kata Kadis Pertanian, Pangan dan Perikanan (DP3) Kota Balikpapan Ir Heria Prisni.
Saya senang mendengar rencana itu. Sudah lama saya ingin mewujudkan rencana tersebut. Tapi tak kesampaian. Sebenarnya saya ingin ada kebun buah lai yang luas. Karena lai tidak ada di daerah lain. Seperti dalam tulisan saya terdahulu, saya pernah memberikan buah lai kepada Dubes India di Jakarta. Dia heran ada durian berwarna kuning. Lai asli Kalimantan. Bahkan nama ilmiahnya juga khas. Durio kutejensis.
Setelah jengkol dan rambai, saya belum mendapat penjelasan lebih rinci apakah ada buah hutan yang lain, yang bakal ditanam di lokasi IKN. Misalnya keluarga durian, di antaranya buah lai, karantungan, dan lahung. Saya juga berharap buah hutan tropika basah lainnya ikut ditanam di IKN, seperti keledang, tarap, ihau, ramania, dan buah rotan.
Buah hutan selain bisa dikonsumsi manusia, juga menjadi sumber makanan utama sejumlah satwa. Orangutan, bekantan, monyet, dan jenis primata lainnya ataupun tupai hidup dan berkembang dengan sumber pakan dari buah hutan. Kalau buah-buahan itu musnah, maka tak lama lagi sejumlah satwa juga akan punah. Niscaya keseimbangan alam dan ekosistem menuju kehancuran.(*)
*) Rizal Effendi
- Wartawan Senior Kalimantan Timur
- Wali Kota Balikpapan dua periode (2011-2021)