Oleh : Mangara Maitlando Gultom
(Akademisi dan Pengamat Hukum Balikpapan)
ADA baiknya untuk merefleksi kembali mengenai politik hukum partai politik dalam bernegara. Telah diketahui tujuan khusus partai politik adalah meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan, memperjuangkan cita-cita partai politik serta membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang kesemuanya diwujudkan secara konstitusional.
Terkait Kekuasaan Eksekutif, pucuknya merupakan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh satu atau lebih partai politik peserta Pemilu, terkait Kekuasaan Legislatif dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu yang calonnya diusulkan oleh partai politik. Dari kedua konsepsi tersebut, partai politik memiliki kemerdekaan untuk menentukan kader-kader terbaiknya untuk menempati posisi eksekutif maupun legislatif.
Komposisi Kekuasaan Yudikatif mengalami pengetatan oleh konstitusi. Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden. Sembilan orang hakim konstitusi ditetapkan oleh Presiden yang diajukan oleh masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Presiden.
Individu-individu yang menduduki ketiga cabang kekuasaan tersebut berpotensi berlatar sebagai kader partai politik. Artinya, pada ketiga cabang kekuasaan tersebut bisa saja didominasi oleh kader-kader partai politik dan keberadaan mereka ditentukan oleh kader-kader partai politik yang menduduki jabatan di eksekutif dan legislatif. Tak dapat ditolak, partai politik memiliki peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Elok maupun reyotnya kehidupan demokrasi dan politik di Indonesia merupakan tanggung jawab partai politik.
Dalam konsep bernegara, Indonesia telah mengakui adanya potensi kesewenang-wenangan dalam bernegara sehingga menghidupkan fungsi judicial review pada Mahkamah Agung untuk menguji produk hukum eksekutif, norma ini sudah aktif jauh sebelum reformasi. Pun ketika reformasi bergulir, sekalipun muncul ”kolaborasi” DPR dengan Presiden dalam membentuk UU, tetap saja dihidupkan fungsi judicial review pada Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas UU. Semua produk hukum bersifat beschikking yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara dapat diuji melalui sistem peradilan tata usaha negara. Terakhir, sebagai peringatan dini atas potensi kesewenang-wenangan, UU tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN pun telah diaktifkan pada 19 Mei 1999.
Setelah dilantik sebagai Presiden untuk kedua kalinya yang kemudian muncul peristiwa bergabungnya partai politik yang menjadi lawan Joko Widodo dalam 2 kali penyelenggaraan pemilihan umum, dengan pongahnya (bahkan fatal sebagai negarawan dalam negara hukum dan demokrasi) Joko Widodo berucap bahwa model demokrasi di Indonesia adalah demokrasi gotong-royong sehingga tidak memerlukan adanya oposisi. Seharusnya partai politik secara kelembagaan maupun melalui kadernya yang berada di DPR segera melalukan counter atas pernyataan Presiden tersebut, justru yang terjadi malah diam seribu bahasa.
Perpu Cipta Kerja tahun 2020 dengan format omnibus dibentuk sebagai dalil mengatasi kecarut-marutan regulasi dibentuk secara solo run oleh Presiden dengan alasan kewenangan konstitusional, ujungnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat selama 2 tahun oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan metode berpikir picik dan sempit, Presiden kemudian keukeuh membentuk kembali Perpu Cipta Kerja pada tahun 2022 sehingga kemudian mendapatkan legitimasi oleh DPR dalam bentuk UU Nomor 6 Tahun 2023. Tidak ada unsur hal ihwal kegentingan yang memaksa saat itu.
Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 90/PUU-XXI/2023 terkait ambang batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden harus tetap berlaku atas nama yudicial activism, namun prosesnya diluluh-lantakkan oleh Putusan MKMK bernomor 2/MKMK/L/11/2023, 3/MKMK/L/11/2023, 4/MKMK/L/11/2023, dan 5/MKMK/L/11/2023. Partai politik pun tetap sibuk berselancar dalam penyelenggaraan Pemilu.
DPR telah gagal sebagai ”anjing penggonggong” kekuasaan. Partai politik pun gagal dalam mematri konsepsi demokrasi dan negara hukum ke dalam kantong ide para kadernya. Buruknya, sempat saja muncul diskursus perpanjangan masa jabatan maupun jabatan 3 periode untuk Presiden.
Rakyat tidak bisa dibebani tanggung jawab atas kegagalan DPR, partai politik harus mengemban tanggung jawab itu mengingat tujuan khusus partai politik yang telah disebutkan sebelumnya di atas. Partai politik pun gagal dalam melaksanakan kewajibannya berupa mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD NRI 1945 dan peraturan perundang-undangan, serta gagal dalam menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Rakyat tidak bisa dibebani tanggung jawab atas perilaku sembrono penguasa, karena hanya partai politik semata yang memiliki legitimasi sebagai filter konstitusional dalam mengusung calon penguasa.
Rakyat sudah terbiasa dibebani melihat tampilan partai politik yang berubah sikap semaunya, rakyat sudah kenyang dengan melihat perlawanan partai politik kepada Presiden namun tunduk ketika diberi jabatan menteri (padahal jabatan menteri kan sebagai pembantu Presiden, masa iya melawan tapi tunduk ketika ditawari jadi pembantu).
Muncul ide belakangan ini untuk mengadakan hak angket. Kenapa baru muncul geliat DPR setelah terjadi kekisruhan penyelenggaraan Pemilu? Kenapa harus ada dampak kepada diri sendiri baru bergeliat sesuai fungsi? Pembenahan partai politik harus segera dilakukan demi kehidupan bernegara yang lebih baik. (*)