Kaltimkita.com, SAMARINDA - Kasus sengketa lahan antara Kelompok Tani Sejahtera Bersama dan PT Budi Duta Agro Makmur kembali menyita perhatian publik.
Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Sapto Setya Pramono, menegaskan bahwa pemerintah daerah harus memainkan peran yang lebih aktif sebagai penengah dalam konflik agraria agar tidak terus-menerus terjadi ketimpangan dan ketidakadilan sosial.
Menurut Sapto, keberadaan regulasi seperti Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perlindungan Lahan dan Hutan Adat seharusnya menjadi pijakan kuat bagi Pemprov Kaltim untuk mengambil langkah tegas dalam melindungi hak masyarakat adat dan petani. Namun tanpa kehadiran nyata di lapangan, aturan tersebut akan kehilangan maknanya.
“Regulasi sudah jelas, tinggal keberanian dan kemauan politik untuk bertindak. Pemerintah tidak boleh hanya menonton saat rakyatnya bersengketa dengan perusahaan besar,” kata Sapto.
Politisi Partai Golkar ini menekankan pentingnya kehadiran negara dalam mencegah kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat, yang sering kali menjadi pihak lemah dalam perselisihan lahan. Ia menyebut bahwa konflik agraria tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar atau kekuatan modal.
“Kalau tidak ada keberpihakan, petani bisa dikriminalisasi hanya karena mempertahankan tanah mereka. Ini bukan sekadar persoalan hukum, tapi juga keadilan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sapto mendorong pemerintah untuk memperkuat peran mediasi dalam setiap konflik tanah, termasuk melalui fasilitasi dialog antara masyarakat dan perusahaan. Selain itu, ia juga mengusulkan evaluasi terhadap izin-izin lahan yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih hak atas tanah.
“Mediasi aktif itu penting. Pemerintah harus hadir di tengah, bukan membiarkan masyarakat menyelesaikannya sendiri,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Sapto menekankan bahwa perlindungan terhadap tanah adat tidak cukup hanya dengan pengakuan di atas kertas. Yang dibutuhkan adalah penerapan nyata di lapangan yang menjamin hak-hak masyarakat adat dihormati secara berkelanjutan.
“Pengakuan tanpa perlindungan itu kosong. Pemerintah harus menjamin hak-hak ini tidak bisa digeser oleh kepentingan ekonomi semata,” pungkasnya. (AL/Adv/DPRDKaltim)