Kaltimkita.com, BALIKPAPAN - Siapa sangka, telur asin yang menjadi kegemaran Wali Kota Balikpapan, Rahmad Mas’ud, dan istrinya, Nurlena Rahmad, ternyata berasal dari dapur sederhana milik seorang perempuan tangguh bernama Yulia Hartaty, pemilik UMKM Bauntung, di Jalan Ahmad Yani, RT 22, Kelurahan Karang Rejo, Balikpapan Tengah
Produk telur asin Bauntung kini bukan sekadar makanan biasa, tapi telah menjadi ikon rasa yang dicari pecinta kuliner di Kota Minyak. Namun di balik kelezatannya, produk yang kini dibina oleh DKUMKMP Balikpapan ini menyimpan perjalanan panjang yang dimulai dua dekade lalu.
Cerita itu dimulai dari usia senja nenek Yulia yang kala itu masih separuh abad. Ia memulai usahanya pada awal tahun 2000-an, tepatnya sekitar 2002, saat umurnya sudah menginjak 50 tahun.
“Waktu itu saya masih kerja di PT Patra. Dari pagi sampai malam, kadang lembur. Jadi sebenarnya bukan orang yang pandai masak,” kenangnya saat menceritakan, Minggu (26/10/2025).
Namun semangat belajarnya tak pernah padam. Ia mulai menimba ilmu dari para koki di tempatnya bekerja. Dari situlah muncul keberanian untuk mencoba membuat telur asin sendiri.
“Waktu itu, saya lihat di Balikpapan belum banyak yang jual telur asin. Jadi saya pikir, kenapa nggak coba aja,” ujarnya.
Berbekal resep sederhana yang ia pelajari dari berbagai sumber, Yulia mulai bereksperimen. Uniknya, ia menggunakan bata merah yang dihancurkan sebagai pengganti abu sekam untuk melapisi telur.
“Dulu susah cari sekam. Akhirnya saya pakai bata merah yang ditumbuk, dicampur garam. Dibungkus di telur selama sepuluh hari. Hasilnya, tekstur telur lebih padat dan rasa gurihnya pas di lidah," serunya.
Proses pembuatannya pun masih manual hingga kini, setelah dibersihkan, telur dikukus selama 2–3 jam, lalu dioven agar lebih tahan lama.
“Kalau dikukus aja, tahan tiga hari. Tapi kalau dioven bisa sampai 20 hari,” tambahnya.
Saat menjual, Yulia berkeliling menggunakan motor besar untuk menjajakan telurnya dari satu warung ke warung lain, bahkan hingga ke kawasan Kilometer 50 lewat perbatasan Balikpapan.
“Saya sendirian, naik motor besar, bawa beberapa piring telur asin. Kadang pulang malam karena nongkrong lama sama pembeli,” katanya mengenang masa-masa itu.
Perjuangan itu tak sia-sia. Pelanggannya semakin banyak, termasuk kalangan pejabat. Bahkan pegawai Disperindag Balikpapan kala itu, kerap membawa telur asin Bauntung sebagai oleh-oleh ke berbagai daerah, mulai dari Manado, Yogyakarta, Sangatta, hingga Banjarbaru.
Seiring waktu, Bauntung tak hanya memproduksi telur asin. Yulia mengembangkan usahanya dengan menghadirkan telur pindang, keripik pisang, dan tempe. Semua diproduksi rumahan dengan cita rasa khas dan harga terjangkau.
“Satu butir telur asin sekarang Rp5.000. Naik sedikit, tapi tetap banyak yang beli,” ujarnya.
Bagi Yulia, usianya bukan penghalang untuk berkarya. Dari dapur kecilnya, lahirlah produk lokal yang kini dikenal luas dan bahkan dicintai pemimpin daerahnya sendiri.
“Saya cuma ingin terus berkarya, selama masih bisa. Telur asin ini sudah jadi bagian dari hidup saya,” tutup nenek yang kini berusia 77 tahun itu. (lex)


