Kaltimkita.com, BALIKPAPAN — Pemerintah Kota Balikpapan tengah menyusun aturan baru untuk memperkuat mekanisme penanganan keadaan darurat dan pemberian bantuan bencana.
Aturan tersebut disiapkan melalui revisi Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 30 Tahun 2012 yang dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan kompleksitas penanganan bencana di lapangan saat ini.
Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Balikpapan, Fahriannur menyatakan, revisi ini menjadi kebutuhan mendesak karena cakupan bencana yang harus direspons pemerintah semakin luas. Selama ini, bencana hanya identik dengan peristiwa alam seperti banjir, tanah longsor, atau kebakaran.
Padahal, menurutnya, kejadian yang menimbulkan korban atau kerugian akibat gangguan sosial juga perlu masuk sebagai kategori bencana yang ditangani pemerintah secara resmi.
“Bencana itu bukan hanya air meluap atau tanah bergerak. Kerusuhan, tawuran besar, atau gangguan sosial yang menyebabkan korban luka dan kerugian masyarakat juga termasuk bencana. Nah, kalau ada korban semacam itu, siapa yang biayai perawatannya? Kalau ada yang meninggal, siapa yang menyantuni? Itu harus ada aturannya,” tegasnya, Senin (24/11/2025).
Ia mengatakan, tanpa aturan yang diperbarui, pemerintah sering kali mengalami keterbatasan dalam memberi bantuan, bahkan ketika bantuan tersebut sangat dibutuhkan warga. Pemerintah daerah, lanjutnya, harus bisa bergerak cepat, tetapi percepatan itu tetap harus dilandasi aturan yang jelas agar tidak menimbulkan persoalan hukum atau administratif di kemudian hari.
“Bisa saja pemerintah berniat baik ingin membantu, tapi dianggap melanggar aturan karena nominal bantuannya tidak sesuai dengan regulasi lama. Misalnya, kita kasih bantuan Rp1 juta kepada korban, sementara aturan lama hanya membolehkan Rp500 ribu. Kalau tidak ada revisi, kami bisa disalahkan,” jelasnya.
Revisi Perwali ini juga diproyeksikan menjadi pedoman bagi seluruh perangkat daerah yang terlibat dalam penanganan bencana. Mulai dari BPBD, TNI, Polri, dinas sosial, hingga kecamatan dan kelurahan, seluruh unsur akan bekerja dengan acuan yang sama sehingga respons bencana dapat dilakukan lebih terarah, cepat, dan terkoordinasi.
Selain mekanisme bantuan kepada korban jiwa dan luka, revisi tersebut juga mencakup penanganan kerusakan fasilitas publik akibat aksi massa atau gangguan sosial lainnya. Pemerintah daerah membutuhkan dasar hukum yang kuat untuk melakukan perbaikan sehingga pelayanan kepada masyarakat dapat segera dipulihkan tanpa menunggu prosedur yang panjang.
“Intinya, pemerintah daerah harus siap memberikan perlindungan dan bantuan sesuai kondisi di lapangan. Tanpa payung hukum yang jelas, langkah itu akan sulit dilakukan,” ujar Fahriannur.
Ia memastikan proses revisi dilakukan secara matang dengan melibatkan OPD terkait untuk memastikan setiap mekanisme yang diatur dapat diterapkan dengan efektif. Pemerintah berharap aturan baru ini memperkuat ketanggapan daerah dalam menghadapi berbagai situasi darurat yang berpotensi terjadi sewaktu-waktu. (rep)


