Kaltimkita.com, BALIKPAPAN — Pihak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Balikpapan tengah melakukan pendampingan intensif terhadap seorang anak sekolah yang diduga terpapar paham radikalisme. Langkah ini diambil setelah adanya temuan indikasi keterlibatan anak dalam aktivitas digital yang mengarah pada ajaran ekstrem, yang kemudian ditindaklanjuti oleh aparat berwenang.
Pendampingan dilakukan secara terpadu bekerja sama dengan Densus 88 Antiteror, yang menangani aspek penegakan hukum dan keamanan. Sementara itu, DP3AKB berperan dalam memastikan perlindungan dan pemenuhan hak anak, termasuk kebutuhan psikologis serta dukungan sosial bagi keluarga.
Saat ini, anak tersebut telah ditempatkan sementara di Rumah Perlindungan UPTD PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak), guna menjamin keselamatan dan memberikan ruang pemulihan yang aman.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala DP3AKB Balikpapan, Nursyamsiarni D. Larose, menjelaskan bahwa penanganan kasus ini dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan menjunjung tinggi kepentingan terbaik bagi anak.
“Kami bekerja sama dengan Densus 88, dan yang bersangkutan sudah kami tempatkan di rumah perlindungan. Pendampingan psikologis juga kami berikan agar anak ini bisa kembali tenang dan pulih secara emosional,” ujar Larose saat dikonfirmasi media, (30/10/2025).
Menurut Nursyamsiarni, tim psikolog dan pekerja sosial dari DP3AKB telah melakukan asesmen awal untuk memahami kondisi mental serta pola pikir anak. Hasil sementara menunjukkan bahwa anak tersebut memperoleh paparan ideologi ekstrem melalui konten digital di media sosial dan platform komunikasi daring.
“Paparan itu tidak terjadi karena faktor lingkungan langsung, tetapi lebih banyak dari akses bebas terhadap konten berbau kekerasan dan ajakan intoleran di internet. Inilah yang menjadi tantangan utama bagi kita semua,” jelasnya.
Ia menambahkan, meskipun proses hukum dan penyelidikan utama berada di bawah kewenangan Densus 88, DP3AKB tetap aktif mendampingi anak dan keluarganya. Pendampingan ini tidak hanya bersifat psikologis, tetapi juga psikososial, mencakup bimbingan keluarga, pemulihan relasi sosial, serta penguatan nilai-nilai kebangsaan dan moderasi beragama.
“Kami juga melakukan konseling kepada ibunya agar tetap kuat dan suportif. Keluarga menjadi faktor penting dalam proses pemulihan anak. Kami ingin memastikan lingkungan rumah tetap kondusif dan penuh kasih,” tuturnya.
Nursyamsiarni menegaskan bahwa identitas dan detail kasus tidak akan dipublikasikan, mengingat perlindungan terhadap hak anak adalah prioritas utama. DP3AKB berpegang pada prinsip kerahasiaan dan non-stigmatisasi terhadap anak yang tengah menjalani proses pendampingan.
“Kami tidak bisa mempublikasikan identitas maupun detail kasusnya. Anak-anak memiliki hak untuk dilindungi, termasuk dari tekanan sosial, stigma, dan pemberitaan negatif yang bisa menghambat pemulihan mereka,” tegasnya.
Selain melakukan pendampingan individual, DP3AKB Balikpapan juga menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk memperkuat program literasi digital dan perlindungan anak dari bahaya radikalisme di dunia maya. Program ini akan dijalankan melalui kerja sama lintas sektor dengan sekolah, orang tua, dan lembaga keagamaan.
“Kami akan memperluas edukasi terkait penggunaan gadget yang sehat dan aman bagi anak-anak. Melalui kolaborasi dengan sekolah dan komite orang tua, kami ingin membangun kesadaran bersama tentang pentingnya pengawasan digital,” katanya.
DP3AKB juga berencana menggandeng Dinas Pendidikan dan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) untuk menggelar pelatihan literasi digital di sekolah-sekolah, terutama jenjang SMP dan SMA. Kegiatan ini akan berfokus pada kemampuan anak mengenali konten berbahaya, memahami nilai toleransi, serta membangun karakter positif di dunia maya.
“Kami ingin anak-anak tidak hanya cakap menggunakan teknologi, tetapi juga bijak dan beretika di ruang digital. Literasi digital bukan hanya soal keterampilan teknis, tapi juga pembentukan karakter,” imbuhnya.
Kasus ini, lanjut Nursyamsiarni, menjadi peringatan bagi semua pihak bahwa paham radikal kini tidak hanya menyasar orang dewasa, tetapi juga anak-anak yang aktif berselancar di dunia maya tanpa pengawasan ketat. Orang tua, guru, dan masyarakat diimbau untuk lebih waspada terhadap aktivitas anak di internet serta memperkuat komunikasi keluarga.
“Kami berharap masyarakat tidak langsung menghakimi, tetapi justru memperkuat fungsi keluarga sebagai benteng utama. Anak-anak membutuhkan bimbingan, bukan penolakan,” ujarnya menambahkan.
DP3AKB juga menegaskan komitmennya untuk terus memperkuat jejaring perlindungan anak di tingkat kelurahan melalui kader dan relawan PPA. Jejaring ini diharapkan mampu mendeteksi dini kasus serupa dan memberikan respons cepat sebelum anak benar-benar terpapar ajaran ekstrem.
“Pendampingan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat. Dengan sinergi semua pihak, kita bisa menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan bebas dari paham kekerasan,” pungkas Nursyamsiarni. (rep)


