Catatan Rizal Effendi
PAK DAHLAN ISKAN, bos saya kirim video razia penjualan BBM eceran di Balikpapan beberapa hari lalu. Ada teksnya yang berbau parodi, yang membuat dia tergelitik. “Ini kenapa ya?” tanyanya kepada saya lewat pesan WhatsApp.
Teksnya memang terkesan nakal. Bunyinya begini: “Yang korupsi pejabat Pertamina, yang jadi sasaran Satpol PP pedagang bensin eceran. Betul-betul amburadul hukum di negeri Konoha ini…”
Ketika saya jelaskan kepada Pak Dahlan bahwa itu operasi penertiban penjual eceran BBM yang dinilai melanggar aturan, dia memberi komentar kecil. “Sepertinya momentumnya kurang pas ya? Jadi bahan paradoks,” katanya begitu.
Kepala Satpol PP Balikpapan Boedi Liliono.
Belakangan video itu beredar di mana-mana dan jadi viral. Momen sekarang ini memang orang habis-habisan menghujat Pertamina. Sejuta sumpah serapah dialamatkan kepada BUMN yang satu ini. Jadi apa saja yang dianggap terkesan membela atau tidak searah dengan sikap menghukum Pertamina, maka pasti menjadi sasaran alias di-bully.
Kita harus memuji Kejaksaan Agung (Kejagung) setinggi langit. Berkat kejelian dan keberaniannya, terungkap permainan dan penjarahan uang negara dalam tata kelola minyak dan produksi kilang yang dilakukan PT Pertamina Patra Niaga (PPN), anak perusahaan PT Pertamina (Persero).
Sudah 9 tersangka ditetapkan. Yang membuat ratusan juta rakyat Indonesia kaget karena salah satunya adalah Direktur Utama PPN sendiri, Riva Siahaan. Dia bos besar yang memimpin dan mengatur penjualan BBM Pertamina. Bayangkan kalau juragannya yang bermain, bagaimana dengan yang di bawahnya?
Riva sendiri kabarnya menerima gaji sekitar Rp21,8 miliar per tahun atau Rp1,8 miliar per bulan. Dia dikenal sebagai pejabat bergaya mewah termasuk istri dan keluarganya.
Mitra kejahatan Riva dari pihak swasta juga bukan orang sembarangan. Salah satunya adalah Muhammad Kerry Andrianto Riza, putra dari pengusaha migas Mohammad Riza Chalid. Sudah anak juragan minyak kakap ternyata jadi “bajingan” juga. Beredar juga video di media sosial dugaan keterlibatan beberapa elite lainnya.
Bos Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan sebelum jadi tersangka.(Ist)
Tak kalah mengagetkan besarnya kerugian negara. Kejagung menyebut sekitar Rp193,7 triliun per tahun. Padahal kejadiannya selama 5 tahun, antara 2018-2023. “Hitung sendiri berapa jadinya,” ujar Jaksa Agung Prof ST Burhanuddin.
Ramai beredar di media sosial grafis “Klasemen Sementara Liga Korupsi Indonesia.” Kasus Pertamina yang baru diungkap langsung menempati puncak klasemen dengan kerugian hampir seribu triliun. Menyusul PT Timah dengan nilai korupsi Rp300 triliun sampai di urutan ke-10 kasus korupsi di Kominfo yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp8 triliun.
Yang menarik dan jadi bahan perdebatan adalah modus operandi kejahatan di Pertamina ini. Kejagung mengungkap salah satu modusnya adalah tindakan PPN yang membeli BBM dengan kualitas lebih rendah (RON 90 atau Pertalite), lalu menjualnya seolah-olah sebagai RON 92 atau Pertamax dengan harga yang lebih tinggi. Lalu muncul polemik dan silang pendapat antara istilah blending dan pengoplosan.
Supaya jelas mana yang benar, kita tunggu saja persidangan kasus ini ke depan. Tampaknya Kejaksaan masih terus mengembangkan dan melakukan pemeriksaan lebih jauh. Jangan-jangan masih ada tambahan tersangka baru.
Banyak warganet yang menuntut agar Pertamina dibubarkan saja. Sebagian juga ingin menuntut atau mengajukan class action karena dianggap merugikan rakyat. Dirut Pertamina sendiri, Simon Aloysius Mantiri sudah menyampaikan permintaan maaf dan mengaku sangat terpukul dengan kasus ini.
KASUS PERTAMINI DI BALIKPAPAN
Lalu apa yang terjadi di Balikpapan? Jauh sebelum heboh kasus minyak secara nasional, Balikpapan sudah mengalami lebih dulu soal kelangkaan BBM dan antrean di SBPU, sulitnya mendapatkan LPG 3 kg atau gas melon sampai ribut-ribut soal penjualan bensin eceran dan kehadiran Pom Mini yang akrab disebut “Pertamini.”
Masalah ini sampai menjadi topik panas pada debat kampanye Pilwali Balikpapan 2024. Potret yang terjadi di kota penyangga IKN ini benar-benar sebuah paradoks. Karena di sini berdiri kilang minyak Pertamina RU V yang tengah diperbesar produksinya dari 260 ribu barel per hari menjadi 360 ribu per barel melalui proyek RDMP. Itu terbesar di Indonesia bahkan ASEAN.
Balikpapan sendiri sudah berpuluh tahun di sebut Kota Minyak. Tim sepak bolanya saja, Persiba sampai digelari “Tim Selicin Minyak.” Tapi anehnya kelangkaan BBM di Balikpapan lebih parah ketimbang daerah lain.
Akibat keterbatasan SPBU, maka di Balikpapan banyak tumbuh pedagang penjualan BBM eceran khususnya bensin serta berdirinya ratusan stasiun mini atau Pertamini liar yang dilakukan masyarakat. Mereka membeli mesinnya berbentuk dispenser lalu dipasang di toko atau di depan rumahnya tanpa memperhatikan kondisi lingkungan.
BBM yang dijual biasanya hasil ngetap di SPBU. Ada yang dioplos, ada juga yang harganya dinaikkan lebih tinggi. Tapi banyak warga mau tidak mau membelinya ketimbang antre berlama-lama di SPBU.
Mulai tahun kemarin, Pemkot Balikpapan melakukan penertiban karena dianggap membahayakan lingkungan terutama ancaman kebakaran. Ada 300-an Pertamini sempat mendapatkan izin (KBLI 47832) melalui OSS. Tapi belakangan tidak bisa dilanjutkan lagi karena izin yang keluar ternyata tidak sesuai dengan ketentuan lainnya. Padahal masih ada 300-an lagi yang belum mendapatkan izin. Sementara pedagang bensin eceran sama sekali tak bisa ditolerir.
Kepala Satpol PP Balikpapan Boedi Liliono mengatakan pihaknya melaksanakan razia besar-besaran, tidak saja yang berjualan di jalur jalan nasional, tetapi juga di seluruh pelosok kota. “Kami melakukan operasi demi ketertiban dan keamanan kota,” katanya.
Dia juga meminta kepada pengusaha pom mini yang sudah memiliki izin untuk melengkapi peralatan keselamatan dan keamanan sesuai surat edaran terbaru dari wali kota. Kalau tidak akan dilakukan penindakan dan pemusnahan. Penindakan itu yang terlihat di video sampai terjadi cekcok antara petugas dan pedagang.
Dari hasil operasi tahun 2024 dan putusan sidang, ada 37 dispenser pom mini yang mereka musnahkan. Selain itu ada 100 ton lebih bensin yang dijual di botol plastik hasil sitaan ikut juga dimusnahkan.
Asisten 1 Pemkot Balikpapan Zulkifli mengatakan, dalam rapat koordinasi dengan Pertamina, pihaknya meminta dilakukan penambahan SPBU. Selama ini di Balikpapan hanya memiliki 14 unit, sedang di Samarinda beroperasi 34 unit. “Alhamdulillah sekarang sudah dilakukan penambahan,” jelasnya.
Para pedagang bensin eceran dan pemilik pom mini mengaku kesal dengan penertiban yang dilakukan Satpol PP, meski diakui apa yang dilakukan mereka tanpa izin. “Petugas tak punya perasaan iba, kami kehilangan mata pencaharian dan modal, padahal hanya untuk sesuap nasi. Seharusnya kami dibina,” kata Mansyah, salah seorang pedagang dengan wajah kesal dan muram. Lalu banyak warganet membandingkan ketidakadilannya dengan skandal di Pertamina Patra Niaga.(*)