Catatan Rizal Effendi
SAYA dikirimi 10 buah kuini oleh Bung Syafril (STN). Wartawan plus seniman Samarinda yang masuk kelompok berambut putih. Saya tak mengira dia punya pohonnya. Katanya ada tiga pohon lagi yang sedang berbuah. Banyak sekali. Konon pernah teman-teman dari Kaltim Post dan Samarinda Pos (Sapos) membawa pulang kuini bertas-tas.
“Syukur” di rumah tak banyak yang suka karena aroma buahnya yang sungguh tajam. Istri saya, Bunda Arita terpaksa “mengusir” saya agar makannya di luar saja. Cucu saya Dafin juga begitu. Tapi abangnya, si Defa yang memang pemakan berat cocok dengan saya. Jadi kami berdua saja menghabisi 10 biji, sambil membahas drama Piala Dunia 2022 di Qatar.
Tak puas dengan dagingnya, Defa juga mengambil bijinya. Di situ memang masih tersisa dagingnya. Karena kuini berserat, jadi makin enak dicelomoti. “Enak ini, Kai,” katanya bersemangat. “Ya apa sih yang Defa nggak suka…,” kata saya bercanda dan setengah menyindir.
Saya senang Defa menyukai semua buah. Termasuk buah lai, yang juga aromanya juga beda dengan durian. Saya khawatir generasi sekarang, yang disebut generasi milenial makin meninggalkan buah-buah “kuno.” Pasti mereka sudah nggak kenal dan nggak pernah mencicipi kasturi, keledang, rengginang, dan tarap. Termasuk juga durian hutan lahung dan karantungan.
Saya pernah kaget buah ramania yang sudah jarang di Kaltim, tapi masih banyak dibudidayakan di Ambon. Di sana namanya gandaria. Malah dibuat jus oleh warga setempat. Laris di kafe-kafe. Terkadang di jual bijian di pinggir jalan.
Seperti lai dan rambai, kuini juga termasuk buah terakhir yang keluar atau berbuah pada musim buah. Mereka tahu diri kalah tenar dan kalah manis. Lai kalah dengan durian. Rambai kalah dengan langsat dan duku. Sedang kuini kalah dengan mangga. Jadi supaya tetap dimakan dan bisa dijual, maka mereka baru berbuah setelah buah-buah tenar mulai habis di pasaran.
Di Balikpapan, masih ada yang jual rambai. Tapi kuini hampir tidak pernah lagi. Buah kuini juga punya kelemahan dan harus hati-hati ketika memakan. Meski kulitnya mulus, di dalamnya bisa saja bersarang ulat. Biasa orang Banjar menyebut pira atau berpira. Mungkin karena baunya yang tajam, ulat jadi suka bersarang di dalam daging kuini.
Saya bilang dengan Bung Syafril, saya pingin datang langsung ke pohonnya. Pohon kuini lebih besar dari pohon mangga. Saya ingin memetik langsung, kesukaan saya makan buah kuini melebihi buah mangga. Padahal saya senang juga dengan mangga arum-manis. Beberapa minggu lalu saya dikirimi Mas Buntoro satu kardus. Terima kasih, Mas, masih ingat saya dan Bunda. Saya terharu.
PERSILANGAN ALAMI
Kuini memang satu marga dengan mangga. Nama ilmiahnya, Mangifera odorata. Bukan odorono. Bentuk dan warna kulitnya hampir sama. Cuma kalau mangga cenderung lonjong, sedang kuini agak bulat dan posturnya lebih kecil.
Peneliti di Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB, Sobir menyebutkan ada tiga perbedaan mangga dengan kuini. Yaitu kuini bentuknya cenderung bulat dibanding mangga yang lonjong. Daging kuini berserat, sedang mangga lebih halus atau lembut. Jika bau mangga cenderung menghilang seiring dengan lamanya disimpan, maka kuini makin lama makin menyengat.
Ada empat varitas kuini menurut situs tropical.thefrens.info. Pertama, bembem, bentuk paling inferior. Baunya tajam dan menyengat. Kedua, kaweni yang berserat sedikit dan baunya kurang. Paling bagus dikonsumsi. Ketiga, gandarassa cenderung kurang manis. Dan keempat, sangay, yang dikenali dari kulit buahnya yang menjadi kekuningan matang.
Kuini atau kuweni (sebutan di Jawa) berdasarkan penelitian pakar juga bukan buah-buahan liar. Tapi diduga kuat sebagai hasil persilangan alami (natural hybridization) antara mangga dan embacang. Hasil penelitian Kiew dkk mendukung kesimpulan seperti itu.
Saya tidak terlalu kenal dengan embacang (Mangifera foetida Lour). Tapi sepertinya ini sama dengan asam hambawang atau asam payang. Ini endemik Kalimantan. Buahnya bulat dan besar. Tapi masih kerabat mangga. Cenderung kecut. Makanya namanya asam. Kebanyakan jadi campuran sambal ketimbang dimakan langsung.
Tanaman kuini bukan hanya ada di Kalimantan, tetapi tersebar pula di Jawa dan Sumatera. Menurut World Conservation Monitoring Centre, kuini adalah tumbuhan asli Guam, Filipina, Thailand, dan Vietnam, yang kemudian menyebar ke Indonesia, Sabah, dan Serawak. Namanya di negeri tetangga itu adalah huani atau wani. Hampir sama dengan nama di Filipina yaitu huani, uani atau juani.
Badan Konservasi Keanekaragaman Hayati Dunia pada 2006 memasukkan Mangifera odorata ke dalam daftar IUCN Red List of Threatened Species kategori “vulnerable,” atau langka bahkan rentan punah.
Pohon kuini tumbuh baik di dataran rendah sampai pada ketinggian sekitar seribu meter di atas permukaan laut. Wilayah yang disukainya adalah daerah dengan curah hujan yang agak tinggi seperti Kalimantan dan merata sepanjang tahun. Kuini biasanya diperbanyak dengan biji. Tapi budidaya kuini secara intensif belum dilakukan.
Buah kuini selain bisa dimakan langsung, juga bisa jadi campuran sambal (jika masih muda) dan bisa dibuat jus atau setup buah. Bijinya kalau ditumbuk menjadi tepung, bisa dibuat seperti makanan dodol. Kulit batang kuini digunakan sebagai bahan obat tradisional sebagai pengobatan luar hystero-epilepsy. Berguna juga untuk bahan industri obat-obat tertentu.
Manfaat kuini memang dahsyat untuk kesehatan. Bisa meningkatkan sistem imun tubuh, menangkal radikal bebas, menjaga kesehatan tulang, menambah kandungan darah dalam tubuh, antikanker, melancarkan pencernaan, tidak akan menaikkan kadar gula darah dan mencegah terjadinya gangguan mata.
Di Jakarta masih sering toko modern berjualan buah kuini. Bisa dipesan online. Harganya antara 15 sampai 20 ribu rupiah per kg. Karena itu, jangan sampai kita di lokasi Ibu Kota Nusantara malah susah cari buah kuini.
Dulu kalau makan buah kuini, ada pantunnya. “Buah kuini rasanya manis. Kalau babini (beristri) cari yang manis. He..he..(*)