KaltimKita.com, TANA PASER - Masih tingginya harga material pasir akibat Perubahan Izin Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam Komoditas Batuan (Pasir) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah atau provinsi, membuat hanya sisa satu pengusaha pemilik IUP ini bisa beroperasi. Kondisi ini membuat harga pasir meroket seperti di monopoli. Wakil rakyat atau anggota DPRD Paser pun merespon kondisi ini.
Wakil ketua Komisi III DPRD Paser Basri Mansyur yang membidangi pembangunan mengatakan pemerintah daerah harus memfasilitasi dan mencarikan solusi dari masalah ini. Pasalnya jika dibiarkan, akan terjadi monopoli barang dengan harga yang tidak realistis.
Bahkan harga itu jauh di atas Standar Satuan Harga (SSH) pekerjaan proyek pemerintah daerah pada 2022 ini. Imbasnya akan kembali ke pembangunan daerah yang terhambat, karena kontraktor pasti kesulitan membeli bahan baku.
"Seluruh pihak terkait harus duduk bersama dipanggil membahas dan mencarikan solusi ini," kata Basri, Minggu (2/10/2022).
Diketahui kenaikan sudah sejak Senin hampir sepekan. Harga pasir yang sebelumnya kisaran Rp 87 ribu per kubik, kini mencapai Rp 200.000. Mirisnya lagi ini dimonopoli oleh hanya satu pemilik IUP.
Jika terus dibiarkan, Politikus Partai Golkar itu mengatakan keadaan ini akan menghambat pembangunan. Apalagi di akhir tahun kegiatan proyek pembangunan sangat banyak. Dampak lainnya ialah nasib para pekerja di penambangan ini.
Mereka hanya penambang rakyat ibaratnya. Bukan seperti pekerja karyawan di perusahaan batu bara. Sehingga tidak ada pemasukan karena tidak bekerja.
"Ini lah yang harus jadi dasar pemerintah bergerak, daerah juga harus perduli terhadap nasib penambang pasir. Usaha ini jadi banyak penopang masyarakat di sekitar areal pertambangan pasir," kata Basri.
Disamping itu normalnya harga dan aktivitas pertambangan ini sangat membantu pembangunan daerah. Apalagi notabene yang mengeluarkan izin sendiri adalah pemerintah, dan pemerintah juga yang akan melaksanakan pembangunan.
Pihak dan pemangku kebijakan harus segera mengambil langkah, agar pembangunan bisa berjalan efektif. Jika lamban, dampak lainnya serapan anggaran tahun ini menjadi evaluasi serapan anggaran tahun 2023 khususnya terhadap OPD yang berkaitan dengan ini oleh DPRD.
Masalah ini menurutnya tidak hanya urusan bisnis pengusaha IUP, tapi nasib pekerja penambang rakyat dan akhirnya berimbas pada progres pembangunan fisik di daerah.
Diketahui sampai Oktober ini, proyek fisik di APBD 2022 masih banyak yang belum 100 persen progresnya, bahkan ada yang belum 50 persen. Ditambah lagi proyek di APBD Perubahan 2022. (rul)