Tulis & Tekan Enter
images

Bupati Kutai Kartanegara, Edi Damansyah. (Istimewa)

Tanggapi Putusan MK, Kuasa Hukum Tegaskan Edi Damansyah Masih Bisa Maju Jadi Bupati Periode Selanjutnya

Kaltimkita, Kutai Kartanegara - Kuasa Hukum Edi Damansyah, Muhammad Nursal dalam rilisnya, menanggapi tersiarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 02/PUU-XXI/2023 dengan judul “Aturan Masa Jabatan dalam UU Pilkada Konstitusional”. Ia menjelaskan bahwa Edi Damansyah masih bisa mencalonkan diri sebagai Bupati Kutai Kartanegara (Kukar). 

Nursal menyatakan, berbagai persepsi dituangkan dalam tulisan yang sebenarnya tidak berkaitan dengan hasil putusan tersebut. Termasuk mengaitkan putusan tersebut dengan masa jabatan Bupati Kukar Edi

Damansyah yang di-framing seolah-olah sudah menjabat dua periode. Sehingga tidak lagi bisa mencalonkan diri sebagai Bupati Kukar pada Pilkada serentak 2024 mendatang.

“Padahal uraian penjelasan putusan tersebut tidak masuk dalam pembahasan periodesasi Bupati Kukar Edi Damansyah,” tegasnya.

Nursal menyatakan pertanyaan apakah Edi masih memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon Bupati Kukar periode 2024 hingga 2029 dikaitkan dengan pertimbangan atas putusan a quo. Sebelum merincikan berbagai logika hukum atas putusan tersebut, sebutnya, ada baiknya menilik kembali kasus serupa pada pemilihan kepada daerah (pilkada) di daerah lain.

“Bahwa dalam pertimbangan putusan a quo terdapat kalimat ‘yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUUXVIII/2020…'” ungkapnya.

Makna kata dikuatkan dalam Putusan MK Nomor 67 ini, terang Nursal, sejatinya sama dengan keadaan Edi dengan Hamin Pou dahulu sebagai Calon Bupati Bone Bolango periode 2010 sampai 2015. Sehingga pernah menjalani masa jabatan sebagai pelaksana tugas Bupati selama 2 tahun 8 bulan 9 hari, dan menjalani masa jabatan sebagai bupati definitif selama 2 tahun 3 bulan 21 hari.

“Putusan a quo justru tidak menyatakan kalau Hamim Pou tidak lagi memenuhi syarat sebagai Calon Bupati periode 2021 hingga 2026, karena telah menjalani satu periode pada 2010 sd 2015, dan satu periode lagi pada 2016 sd 2021. Sekarang masih menjabat sebagai Bupati Bonebolango periode 2021 sd 2026,” paparnya.

“Sekiranya MK menyatakan bahwa Plt juga harus dihitung sebagai satu kesatuan, maka sudah dapat dipastikan dalam pertimbangan putusan a quo akan menyatakan bahwa mahkamah mengalami pergeseran pendapat, tetapi yang ternyatakan justru hanya ‘menguatkan’,” imbuh Nursal.

Dia juga mengingatkan adanya putusan sebelumnya yaitu Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, yang merupakan permohonan uji materil oleh Nurdin Basirun, Bupati Karimun kala itu yang pernah melalui masa jabatan Bupati definitif, 25 April 2005 sampai 14 Maret 2006 yang diangkat dari kedudukan sebelumnya dari wakil Bupati.

Kemudian pada fase kedua, terpilih sebagai Bupati Karimun melalui hasil pemilihan secara langsung, dilantik pada 15 Maret 2006.

“Oleh Mahkamah malah hanya mempersoalkan pula penghitungan jabatan definitif saja untuk Nurdin Basirun,” sebut Nursal.

Putusan MK menimbang persoalan bagaimana jika masa jabatan periode pertama tidak penuh karena pemohon menggantikan pejabat bupati/wali kota yang berhenti tetap. Misalnya Pemohon II menjabat Bupati Karimun periode pertama selama kurang dari satu tahun, kurang dari separuh masa jabatan. Sedangkan Pihak Terkait I menjabat Walikota Surabaya selama dua tahun sembilan bulan atau lebih dari separuh masa jabatan.

Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak.

MK menilai tidak adil apabila seseorang menjabat kurang dari setengah masa jabatan disamakan dengan yang menjabat setengah atau lebih masa jabatan. Oleh sebab itu berdasarkan asas proporsionalitas dan rasa keadilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

“Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai pejabat kepala daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan,” terang Nursal.

Selanjutnya, pertimbangan hukum atas putusan a quo berbunyi dalam putsan MK bernomor 02/PUU-XXI/2023, berdasarkan pertimbangan putusan-putusan khususnya pertimbangan hukum dan amar Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang menyatakan “masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan” yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUUXVIII/2020 yang menyatakan, setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan.

“Artinya, jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa

jabatan,” simpulnya.

Sehingga Permohonan Pemohon yang menghendaki agar kata “menjabat” dalam frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Wali Kota”, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat secara definitif”. Dengan sendirinya telah terjawab oleh pertimbangan hukum Putusan tersebut.

Berdasarkan pertimbangan hukum dan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020, makna kata “menjabat” telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut.

Dengan demikian, kata “menjabat” adalah masa jabatan yang dihitung satu periode, yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari masa jabatan kepala daerah. Oleh karena itu, melalui putusan a quo Mahkamah perlu menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan ”masa jabatan yang telah dijalani” tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.”

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Nursal menyatakan Edi tetap bisa mendaftar sebagai calon Bupati Kukar periode 2024 sd 2029 dengan empat dasar argumentasi. Pertama, bahwa yang dilakukan pembatasan sebagai hitungan 1 periode dalam makna 2,5 tahun atau lebih hanyalah pejabat definitif dan penjabat sementara.

“Nomenklatur penjabat sementara dengan pejabat sementara adalah dua hal yang berbeda, kalau pejabat sementara dalam teori merupakan genus pejabat yang terdiri atas Plt, Plh, Penjabat, dan penjabat sementara,” bebernya.

“Sedangkan penjabat sementara adalah orang yang mengisi jabatan kepala daerah karena kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif sedang menjalani masa cuti kampanye,” tambah Nursal.

Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1 angka 6 Permendagri Nomor 1 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota.

Sesuai permendagri itu, penjabat sementara yang selanjutnya disingkat Pjs adalah pejabat tinggi madya/setingkat atau pejabat tinggi pratama yang ditunjuk oleh Menteri untuk melaksanakan tugas kepala daerah cuti di Luar Tanggungan Negara untuk melaksanakan kampanye.

“Edi Damansyah dalam hal ini tidak pernah menduduki jabatan sebagai penjabat sementara sebagaimana dimaksud dalam Permendagri tersebut. Sehingga pembatasan yang dimaksud tidak mungkin berhubungan dengan kondisi jabatan yang pernah didudukinya sebagai Pelaksana Tugas,” urainya.

Dasar kedua yaitu jika dipaksakan dalam hal ini makna penjabat sementara dalam pertimbangan putusan a quo diletakkan sebagai genus dari pelaksana tugas, juga tidak akan memenuhi Edi Damansyah dalam satu periode selama menjabat sebagai Plt Bupati dan Bupati Defenitif pada periode 2016 sampai dengan Sebab putusan tersebut tidak mempertegas apakah masa jabatan Plt dan definitif (2016 ssampai dengan 2021) dihitung sekaligus atau terpisah.

“Karena tidak ada penegasan demikian maka haruslah dimaknai terpisah, menjabat Plt selama 10 bulan 3 hari, menjabat sebagai bupati defenitif 2 tahun 9 hari, adalah kedua-duanya belum ada yang memenuhi selama 2 tahun 6 bulan,” tutur Nursal.

Dasar ketiga yaitu batas untuk mulai menghitung dari masa 2 tahun 6 bulan adalah dimulai pada hari pelantikan sesuai Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, Pasal 38 PP 6/2005, dan Pasal 4 Ayat (1) Huruf o PKPU 9/2020 Tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah.

“Perlu diingat bahwa dalam UU Pemda maupun dalam PP No. 49/2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pejabat Plt dimaksud tidak ada ketentuan yang mengatur untuk pelantikannya. Artinya Plt tidak DILANTIK, sehingga tidak mungkin ada batas untuk menghitung limit masa jabatan kalau hendak dipaksakan,” jabarnya.

Dalam kasus ini, dahulu Edi Damansyah bukan dilantik sebagai pelaksana tugas Bupati 2016 sampai 2021. Melainkan hanya melalui pengukuhan, karena yang namanya pelantikan kepada pejabat yang bersangkutan harus dengan mengucapkan lafal sumpah sesuai kepercayaan. Sebagaimana pengertian tentang pelantikan diatur dalam Pasal 1 angka 6 dan Pasal 11 Permendagri Nomor 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala dan/atau Wakil Kepala Daerah.

“Dihubungkan dangan naskah pengukuhan dan pakta integritas atas keadaannya dahulu Edi Damansyah pernah menduduki jabatan Plt Bupati, dengan pasal a quo, bukan terkualifikasi sebagai pelantikan karena sama sekali dalam naskah pengukuhan dan pakta integritas dimaksud tidak terdapat lafal sumpah/janji: demi Allah dst..” lanjut Nursal.

Dasar keempat yaitu dalam pertimbangan putusan a quo terdapat kalimat “yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 67/PUUXVIII/2020…” Makna kata dikuatkan dalam Putusan MK Nomor 67 ini sejatinya sama dengan keadaannya Edi Damansyah dengan Hamin Pou.

Putusan a quo justru tidak menyatakan kalau Hamim Pou tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon bupati, karena telah menjalani satu periode pada 2010 sampai 2015, dan satu periode lagi pada 2016 sampai 2021, sekarang masih menjabat sebagai Bupati Bonebolango periode 2021 sampai 2026.

“Sekiranya MK menyatakan bahwa Plt juga harus dihitung sebagai satu kesatuan, maka sudah dapat dipastikan dalam pertimbangan putusan a quoakan menyatakan bahwa mahkamah mengalami pergeseran pendapat, tetapi yang ternyatakan justru hanya menguatkan,” tandasnya. (ian)


TAG

Tinggalkan Komentar