KaltimKita.com SAMARINDA- Satu, dua sendok es batu ditumpahkan ke dalam gelas shaker. Diseduhkan cairan kopi yang diracik dengan manual. Gelas shaker itu diguncangkan berulang-ulang. Sekitar 30 detik, kemudian dituangkan ke gelas yang sudah tersedia es batu. Jadilah sajian es kopi yang siap dinikmati. Aksi tersebut merupakan karya seoang Muhammad Ely Bagus Satrio.
Medio November 2021 lalu. Saat pandemi COVID-19 masih menghantui. Pria yang disapa Tio justru memberanikan diri membuka kedai kopi. Saat itu padahal dia berada dalam karir yang aman saja. Di tengah banyaknya gelombang PHK di beberapa perusahan. Selama enam tahun pria kelahiran Samarinda itu bekerja sebagai sales marketing di salah satu perusahaan otomotif.
Tio menilai waktu itu sangat tepat beralih fungsi dari karyawan menjadi pengusaha. Bermodal kurang lebih Rp 50 juta dia membuka Kopi Kongdjie, di kawasan Citra Niaga Samarinda. Sebuah bisnis waralaba kedai kopi. Dikenal sebagai salah kedai kopi tertua di Indonesia. Tepatnya d Belitung.
Memilih Citra Niaga bukanlah pilihan yang mudah. Tempat pusat perniagaan yang dibangun tahun 1980an itu di abad 20an dikenal sebagai tempat kriminalitas.
“Iya, tempatnya (Citra Niaga, red) kriminal. Sekarang mulai kita ubah imagenya Citra Niaga,” kata Tio usai melayani salah satu pembeli, Selasa (5/7/2022).
Mengubah image Citra Niaga tentu tidaklah mudah. Secara bersamaan Tio juga tergerak karena banyak kawannya yang juga membuka usaha di Citra Niaga. Niatannya benar-benar tergerak sejak enam tahun lalu. Saat diterima sebaga sales marketing.
“Saya dulu kerja kantoran sebagai sales. Kemudian menabung selama kerja untuk buka usaha ini,” tambah alumnus Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman itu.
Usaha kedai kopi dinilai Tio sangatlah cocok di masa sekarang. Segementasi pasar kedai kopi sangatlah luas. Menjangkau ke semua usia.
“Saya juga suka nongkrong. Ya, di kedai kopi,” tambah mantan anak band ini.
Belum genap setahun, Tio turut merasakan naik turun omset. Di awal tahun ketika penerapan PPKM, pengunjung menurun. Normalnya dalam sebulan Rp 50 juta, turun jadi sekitar Rp 40 juta. Kondisi tersebut turut memprihatinkan bagi Tio.
“Menurunnya omset bukan karena pengunjung. Tapi karena aturan PPKM. Kita itu kaya tidak boleh cari rejeki. Kita sudah buat meja itu skatnya jauh-jauh. Satu meja dua orang,” keluhnya.
Meski demikian Tio cukup bersyukur pandemi COVID-19 berangsur hilang. Bisnisnya kini mulai kembali normal. Omset sudah cukup memuaskan setidaknya bisa mengupah sekitar tiga karyawannya. Terkait persaingan, Tio enggan memikirkannya.
Dia justru mengajak kaum melenial untuk berani terjun di dunia bisnis. Mengingat saat ini sudah waktunya kaum milenial memberanikan diri berperan dalam membuka lapangan pekerjaan.
“Seorang pebisnis itu adalah seorang leader. Dia harus menjadi pemimpin,” tutup Tio. (dil)