Tulis & Tekan Enter
images

Implikasi Dari Presidential Treshold

Oleh: Dr.Isradi Zainal, SH.,MH

Rektor Uniba, Direktur Indeks Survey Indonesia (Insurin)

Presidential treshold adalah ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu pemilu untuk mengajukan calon presiden (Gofridus Goris Sehan). Untuk pemilihan serentak pasangan presiden dan wakil presiden serta pileg, Indonesia menggunakan UU no 7 tahun 2017 pasal 222 yang mensyaratkan 20% suara DPR atau 25% perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.

Undang undang ini sudah dipakai pada pemilu serentak tahun 2019 dengan menggunakan hasil pileg 2014, dan akan digunakan kembali pada tahun 2024 dengan menggunakan hasil pemilu 2019 sebagai presidential treshold untuk calon presiden dan wakil presiden.

Lalu bagaimna implikasinya jika Presidential treshold UU no 7 tahun 2017 diberlakukan? Jika dilihat dari data perolehan suara pemilu nasional DPR RI tahun 2019, diketahui : PDIP 19,3%, Gerindra 12,75%, Golkar 12,31%, PKB 9,69%,Nasdem 9,01%, PKS 8,21%, Demokrat 7,77%, PAN 6,88%, dan PPP, 4,52%. Berdasarkan persentase tersebut, PDIP misalnya bisa berkoalisi dengan PPP yang suaranya paling sedikit sekalipun.

Golkar bisa berkoalisi dengan Nasdem. Gerindra bisa berkoalisi dengan PKS, kemudian ditambah salah satu dari PAN, Demokrat atau PKB. Dari data tersebut dapat dicatat bahwa jika mempertimbangkan perolehan kursi di DPR RI, maka tiga calon sudah maksimal, tapi jika memperhatikan suara sah nasional pemilu anggota DPR RI maka memungkinkan untuk terdapat empat pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Jadi kurang tepat jika dikatakan ambang batas 20% suara DPR RI atau suara sah nasional pemilu anggota DPR RI 25% akan membuat pemilihan pasangan presiden akan head to head. Partai tentunya punya hitungan dalam mencalonkan seseorang.

Untuk konteks hambatan terhadap putra terbaik bangsa yang hendak maju di Pilpres tanpa naungan partai politik, sebenarnya tidak sepenuhnya benar karena jika yang ingin maju betul betul putera terbaik bangsa, maka tentu saja partai politik akan meminangnnya.

Perlu lebih didalami indikator putera terbaik bangsa dalam kaitannya dengan Pilpres. Bukankah Pak Jokowi, Ma'ruf Amin dan Anis Basweden bukan di bawah naungan Partai?.

Selanjutnya implikasi yang dikaitkan dengan potensi memundurkan kesadaran partisipasi politik rakyat, menurut penulis belum tentu benar. Karena ada banyak indikator yang bisa menjadi patokan dalam kaitannya dengan kurangnya kesadaran.

Khusus terkait tidak berdayanya Partai kecil terhadap partai besar, itu sebenarnya belum tentu benar. Karena jika parpol kecil betul betul punya tokoh atau yang betul betul tokoh, maka posisi bargaining partai kecil bida saja mengalahkan Partai besar.

Selain itu partai kecil memang harus sadar bahwa jika didominasi partai besar memang harus tunduk. Bukankah suara partai melambangkan suara dukungan?

Sebenarnya saat ini secara tersirat tidak ada batasan untuk maju sebagai capres. Siapa saja bisa maju tinggal liat ada respon masyarakat nggak. Buktinya banyak yang mengusulkan nama tapi kurang ada respon dari partai dan masyarakat. Ada juga yang tidak punya partai tapi dipinang oleh banyak partai.

Kalau memang merasa tokoh atau menganngap diri tokoh dan banyak pendukung, buatlah partai atau masuk partai. Partai juga tidak akan serta merta besar tanpa dukungan rakyat. Partai itu representasi dukungan rakyat.

Bukankah di negara kampiun Demokrasi seperti Amerika juga menganut cara merekrut calon presiden melalui Partai? Apakah Reagen, Trumph orang Partai? Mereka yang maju sebagi independen diperkenankan, tapi dalam sejarahnya belum pernah ada yang menang. (*)


TAG

Tinggalkan Komentar