KaltimKita.com, SAMARINDA – Sidang lanjutan uang suap serta gratifikasi yang dituduhkan kepada mantan Bupati Kutai Timur Ismunandar dan mantan Ketua DPRD Kutim Encek Unguria Rinda Firgasih tidak bisa diklasifikasikan sebagai korupsi, jika penggunaannya untuk kepentingan dan fasilitas umum buat masyarakat.
Hal itu tidak bisa menjadi dasar dijerat dakwaan korupsi untuk keduanya oleh KPK Pendapat tersebut dikatakan mantan Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung (MA) Atja Sondjaja, yang hadir sebagai saksi ahli terdakwa Ismunandar dan Encek, saat disiarkan Pengadilan Tipikor Samarinda secara online, pada Senin (8/2/2021).
“Kalau pun buat kepentingan umum di jadikan untuk kepentingan pribadi sudah jelas itu salah dan tak ada toleransi. Tetapi Beda cerita jika suap atau gratifikasinya digunakan untuk kepentingan umum,” Jelas Ajta.
Sesuai fakta unit bantuan Alsintan yang diserahkan kepada Supriyono bersama kelompok tani Kaubun. Dan saat persidangan virtual lalu Supriyono merupakan saksi yang meringankan perkara sangkaan korupsi kepada mantan Bupati Kutim Ismunandar dan mantan Ketua DPRD Encek Firgasih
Pernyataan tegas Atja menanggapi dakwaan jaksa KPK yakni Pasal 12 a UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001. Pasal tersebut berbunyi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui hadiah atau janji itu bertujuan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan dan yang bertentangan dengan kewajibannya. Pasal 12 a ini dijeratkan KPK setelah Ismunandar, Encek, serta Musyaffa (mantan Kepala Bappeda Kutim), Suriansyah (mantan Kepala BPKAD Kutim), dan Aswandini Eka Tirta (mantan Kepala Dinas PU Kutim) tertangkap tangan menerima suap pada awal Juli 2020.
Mantan Bupati Ismunandar dan mantan Ketua DPRD Kutim Encek Firgasih saat meresmikan Rumah Sakit Sangkulirang tinjau langsung ruang operasi. Sebagai bukti atas aspirasi keduanya yang amanah terlaksana
Ia juga mengatakan, kepentingan umum yang saya maksud, adalah ketika uang tadi digunakan untuk keperluan masyarakat. Definisi kepentingan umum, dan tercantum dalam UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Secara sederhana digambarkan mampu mengakomodasi dan diberikan untuk kepentingan masyarakat secara tepat,” tegas Atja di hadapan hakim ketua Joni Kondolele didampingi hakim anggota Lucius Sunarto dan Ukar Priyambodo.
Pendapat Atja langsung direspons jaksa KPK Yoga Pratomo dan Ariawan Agustiartono yang bertanya, apakah ini berarti kepala dinas yang merupakan kepanjangan tangan bupati, juga bertugas mengumpulkan uang bagi kepala daerah. Menurut Atja, pengumpulan uang yang masih dipertanyakan legalitasnya itu, sepanjang untuk bupati dan dimaksudkan untuk keperluan masyarakat maka tak bisa dikategorikan sebagai gratifikasi maupun suap.
Masih menurut pendapat Atja, ini didasari realita bahwa warga sering meminta berbagai hal, yang seringkali tidak terakomodasi dalam APBD. “Minta jalan diaspal, semenisasi gorong-gorong, penerangan jalan dan sebagainya. Apa ini semua terakomodasi APBD, jelas tidak,” bebernya.
Kebutuhan usulan pengeras suara werles demi kepentingan masyarakat Wahau saat diserah terimakan mantan Bupati Kutim Ismunandar dan mantan Ketua DPRD Kutim Bunda Encek Firgasih
Untuk itu, lanjut Atja, perlu sumber lain selama digunakan bukan untuk kepentingan pribadi. Selain saksi ahli, melalui kuasa hukumnya Ahmad Djainuri, Ismunandar dan Encek juga menghadirkan 6 saksi meringankan yang merupakan warga penerima bantuan. Encek menghadirkan Harsito, Junaidi, dan Priyanto, sedangkan Ismunandar mendatangkan Emi Wati, Yesaya Poluan Peleng, dan Sayid Sulaiman. Secara umum menurut keenamnya, selama kedua terdakwa menjabat, aspirasi mereka direspons dengan cepat. Seperti Priyanto, yang mengaku selama Encek jadi Ketua DPRD Kutim, Kecamatan Kaubun dimana dia tinggal, sering mendapat bantuan dari DPRD.
“Waktu reses, Bunda (Encek) langsung membeli 8 ton hasil panen, begitu mendengar kita mengeluh padi yang kita tanam tak laku karena kalah bersaing dengan beras impor. Tidak cukup sampai di situ saja bantuan mantan ketua DPRD Kutim Encek UR Firgasih yang biasa di sapa (bunda encek) selalu membantu para petani memborong hasil bercocok tanam, membangun fasilitas umum di luar APBD,” jelasnya.
Senada dengan saksi Priyatno, Emi Yati menyebut lembaga sosial Kerukunan Keluarga Kampung Hijau (K3H) miliknya sering dibantu oleh bupati (Ismunandar). “Tahunya kita dari uang pribadi bupati. Seperti waktu itu ada pemugaran lingkungan, langsung dikasih uang tunai,” terang Emi. (iya/bie)